Seandainya "The Midnight Studio" Bukan Sekadar Drama Fantasi

The Midnight Studio, drakor (drama korea) on going  yang menceritakan sebuah studio foto yang hanya beroperasi di malam hari, dan dikelola secara turun temurun oleh keluarga yang mendapatkan kutukan hantu – para fotografernya akan meninggal di usia 35 tahun. Pengunjung studio foto ini adalah orang-orang yang sudah meninggal dan ingin mengabadikan satu kenangan terakhir mereka bersama orang terkasih. Selain mengabadikan kenangan terakhir, para hantu ini bisa mengatakan satu keinginan terakhir dan pemilik studio bersama para stafnya akan berusaha memenuhi keinginan itu. 
   Seringkali pengunjung yang datang adalah mereka yang meninggal mendadak, atau meninggal dengan tidak adil. Misalnya ada ibu yang meninggal tetapi belum sempat merayakan ulang tahun putrinya, maka para awak studio akan menyiapkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan, dan memotret ibu dan anak itu. Atau ada yang ‘pergi’ tanpa sempat berpamitan kepada istri, kepada anak, kepada orang tua, saudara, mereka akan datang ke studio foto, meminta kesempatan berpamitan itu, atau menyelesaikan satu hal yang harus mereka selesaikan sebelum pergi. Setiap keinginan selesai, para klien akan difoto, dan potret itu menjadi kenangan terbaik mereka. 
   Setiap episode, selalu ada satu atau lebih hantu yang berkunjung ke studio dan meminta difoto. Seperti ulasan di atas, mereka tidak sekadar difoto, ada salam perpisahan yang manis; saling mengungkapkan perasaan sayang, saling meminta maaf, bertukar peluk, atau membuka satu, dua kebenaran yang tak sempat mereka sampaikan. Ah, manis sekali. Yang akan pergi dan yang ditinggalkan akan rela, ridha, ikhlas. Dan itulah saat-saat mata saya selalu basah.
   Di kehidupan nyata, studio foto bagi para hantu ini jelas tidak masuk akal. Ya, namanya juga drama fantasi. Tapi ketika saya menontonnya, dengan mata sembab, saya berharap ada studio tengah malam di satu sudut di dunia yang luas ini. Tidak peduli seberapa jauhnya atau berapa lama untuk tiba di studio itu, saya menyambangi studio itu dan mencari si juru foto. Saya mungkin menjelma Han Bom, sedikit mengemis pada Seo Ki Joo untuk bertemu neneknya yang sudah meninggal – tetapi tidak ingin bertemu dengannya. Syukur jika saya beruntung, saya yang diundang ke studio foto itu bertemu papa. 
  Jika studio foto itu ada dalam kehidupan ini, papa mungkin saja datang sebagai pengunjung. Barangkali ada yang ingin dia sampaikan ke saya. Juga ada yang perlu saya sampaikan padanya. Ada yang ingin saya tanyakan dan butuh jawabannya, dan penjelasan yang banyak. Atau barangkali kalo torang bertemu, tidak ada pertanyaan, tidak ada kata-kata kecuali saya cium tangan, memeluk papa, dan meminta dipeluk dengan hangat. Torang bisa berfoto dengan baik, lebih layak, bisa saling mengucap salam perpisahan. saya akan melepasnya dengan kerelaan yang full, dan ikhlas sepenuh-penuhnya.      
  Mereka bilang saya berlebihan. Ya, memang, di hati saya ada penyesalan yang berlebihan atau rindu yang lebih-lebih. Kalau saja saya tetap pulang walau ia melarang saya pulang setelah KKN, setelah magang, saya masih bisa bertemu dengan papa. 
   Papa sakit, ia minta dirahasiakan kepada saya, bahkan ketika langkah malaikat Izrail sudah terdengar ditelinganya. Papa menyebut nama saya, mencari saya untuk beberapa saat, lalu ‘pergi’ – begitu yang disampaikan mama kemudian. Mama memutuskan melanjutkan rahasia bahwa papa sudah berpulang, semua orang di rumah duka menaati mama hingga akhirnya, satu, dua, tiga pesan duka masuk ke layar ponsel saya, “Ker, turut berduka cita e, yang kuat.” Saya sedang di ruang tunggu bandara, dan saya menolak kabar duka itu. Saya membenci segala kabar, segala hal, termasuk mereka yang mengantarkan saya ke bandara dengan pelukan, dan bersikap biasa saja. Saya mengerti sikap mama, dan semuanya yang penuh rahasia pada saya, tapi saya tidak bisa terima. 
   Selama 45 menit penerbangan, hanya satu hal yang saya tanamkan dalam kepala saya. tidak ada kabar duka, papa tidak meninggal. Tapi kalau pun belasungkawa benar dialamatkan kepada saya, saya ingin bisa bertemu papa, yang pertama dan terkahir kali sejak lebaran tahun 2014 dan membisikinya kalimat perpisahan walau dibalik kain putih yang membungkusnya. Namun, papa dikebumikan, saya masih di atas kapal, dengan tangis tiada henti. 
   Sebelumnya, papa memang dirawat di RS, tapi sudah boleh pulang ke rumah. Saya akhirnya diberi kabar itu setelah papa pindah dari ruang ICU. Karena itu saya pulang, meninggalkan jadwal sidang skripsi saya beberapa hari lagi. 
   20 April 2016 tidak ada papa yang duduk di sofa butut, tidak ada jasadnya, pun kerandanya. saya temui hanya kakak perempuan saya yang menangis sejak melihat saya tiba di halaman rumah. Saya memeluk mama berikut seluruh tangisan kami yang ruah. Hari itu, pukul 5 sore, Banggai telah menjadi asing dan berubah menjadi kota yang teramat dingin.
   Selama 8 tahun saya berharap keajaiban-keajaiban yang tak masuk akal termasuk studio foto seperti dalam drama The Midnight Studio. Karena beberapa hal hanya dapat diselesaikan dengan pertemuan. 
   Demikian, curhat modus review drakor ini ditulis dengan penuh khayal; kalo midnight studio benar-benar ada, apa yang saya lakukan lebih dulu? cium tangan atau polo kuat papa? Barangkali saya hanya mampu menangis. 

(Kefamenanu, 20 April 2024)


Komentar