Surat Cinta untuk Murabbi




Yogyakarta, 23 Oktober  2015.
Ada kesyukuran luar biasa yang terpahat indah di hatiku. Ucapan syukur pun selalu saja terucap dari lisanku. Nikmat TuhanMu yang manakah yang engkau dustakan?. Aku diberi kesempatan untuk menyelesaikan cerita dan anganku di kota ini. Ceritaku yang belum usai, dan anganku yang belum terpenuhi. Mungkin saja kota ini akan bosan dengan kehadiranku selama 2 bulan 12 hari.
Di sudut kota Jogja, Jalan Barbarsari, Kampus tempatku menempah ilmu pengelolaan Tv, Kampus II Universitas Pembangunan Nasional “Veteran “ Yogyakarta, aku berdiam diri di sudut meja sambil mencharger Handphoneku. Para Crew UPNTV  entah kemana. Biasanya ramai, meski tak banyak yang dikerja. Karena TV Komunitas yang segmentasi pasarnya mahasiswa saja, dan baru produksi 1 atau 2 pekan sekali. Tetapi resikonya adalah kesibukan bertumpuk saat produksi. Ini resiko yang harus aku pikul. Ditambah ditempatkan pada tim creative yang harus terus meramu ide menjadi konsep yang kemudian kan ku sulap menjadi skrip siaran talk Show.
Kesibukan yang sama, berkutat dengan ide-ide, laptop, dan lembaran-lembaran kertas. Sama seperti ketika di Kota Kaktus yang membesarkanku dengan mimpi-mimpi. Setiap hari aku harus memeras otak, menyamakan ide dengan tim dan tentunya belajar mengoperasikan Kamera film dan beberapa alat pendukung lain yang digunakan ketika produksi.
Duduk di sudut ruangan, sambil mencoret-coret konsep produksi episode selanjutnya, handphoneku bergetar. Nada pesan masuk dari sang guru melalui akun group WhatShaap Liqo’ ku. Yah aku memang memanggilnya Guru. Kadang kakak Guru, dan hanya boleh aku yang memanggilnya. Ia terima dengan tidak, aku tak peduli dan memang urusannya. Pesannya masuk tepat pukul 10.51 WIB.
“Tes…tes, semuanya lagi pada aktif?. Ada yang ingin kakak bicarakan pada kalian. Penting,” ucapnya.
“Ya,” aku merespon. Pikiranku mulai menebak-nebak. Ada apa gerangan. Jika kakak Guru mulai mengeluarkan kata penting, itu tandanya kami harus mengikut kecuali ada alasan syar’i. Pernah beberapakali dikabarkan dengan kata penting, aku tak menurut. Sebab telah ada agenda lain yang telah jauh-jauh hari aku save waktunya. Entah kakak Guru menilaiku bagaimana saat itu. Dan mungkin kelakuanku ini pernah dilakukan oleh personil kelompok Liqo’ku yang lain. Kakak Guru bahkan pernah ditegur oleh temannya karena memang setiap acara pertemuan-pertemuan yang mengharuskan binaan datang, aku dan kawan-kawan kelompok Liqo’ ku yang selalu tak lengkap karena jam terbang kami yang padat.  Afwan kak. Tapi aku yakin kakak sudah memaafkan kebandelanku ini.
“Iya Kak,” kali ini Hajar bersuara. Aku yakin ia penasaran, sama denganku.
Lama kakak Guru tak merespon suara-suaraku dan Hajar.  Barulah setelah pukul 12.46 WIB kakak Guru membalas pesan kami.
“Sebentar kakak sampaikan ya,” ucapnya.
Aku semakin menerka-nerka. Pikirku kakak Guru akan membahas soal perpindahan Liqo’ kami pada Murabbi yang baru. Tapi ternyata melesat jauh. Berita yang tak pernah terlintas dalam anganku. Apalagi terlintas untuk jadi liputanku di Media Tadulako. Personil yang lain, Andira mulai nongol dengan emoticon pada pesannya. Kakak guru akhirnya mengatakan kabar yang ingin ia sampaikan ketika jarum jam di studio UPNTV menunjukan pukul 14.56 WIB. Sontak jantungku berdebar-debar tak karuan setiap membaca kalimat demi kalimat yang dikirmkan kakak Guru.
“Sama Aida dan Andira udah kakak beri tahu. Afwan ya, baru beri tahu. Mungkin ini mengagetkan buat kalian, tapi percaya sama kakak. Semuanya tidak ada apa-apa, prosesnya baik.”
Sampai pada kalimat itu, jantungku semakin tak karuan berdetak. Ada gugup bercampur was-was. Aku lanjutkan membaca.
“Alhamdulillah tanggal 21 Oktober kemarin, tepatnya rabu malam, kakak sudah melangsungkan akad nikah. Mohon doanya, semoga menjadi keluarga yang samawa fii Dakwah.”
Ku rasakan mataku berair. Dari balik lensa kaca mata yang melindungi mataku, aku berusaha menahannya agar tak merembes membentuk sungai-sungai kecil. Sampai pada kalimat itu, aku seperti mimpi. Tak menyangka kabar bahagia ini yang ia sampaikan padaku dan kawan-kawan yang lain. Ah, rasanya ingin menangis. Terlebih posisiku yang sedang jauh dari mereka. kabar yang baru ku dengar ini seolah seperti mimpi. yah, mimpi yang nyata. Nyatanya aku tak mampu mebahasakan apa yang aku rasakan.
“Afwan, kakak tidak sebar undangan.  Karena acaranya sederhana di rumah. Yang hanya dihadiri oleh beberapa keluarga. Yah begitulah. Karena kondisi pihak suami yang apa adanya.”
aku semakin terpesona dengan kisah cinta ini. rasa-rasanya baru kemarin aku dan kawan-kawan juga kakak guru bergurau soal nikah. Sok-sok FTV lah. Aku ingat betul celetuk kami pada salah satu pertemuan Liqo. Nanti bagaimana yah, jika orang yang kakak guru suka itu ternyata adalah lelaki yang disukai sama adik-adik binaannya, ya. Yah berbagi cinta dong.”
Juga rasanya baru kemarin, ketika Aida selalu nyeletuk soal nikah setiap kali bercerita. Hanya goyunan, dan sekarang kakak Guru menikah dengan begitu sederhana, sesederhana pada foto yang ia kirimkan pada kami. Ah, kakak Guru, sesungguhnya aku ingin disibukkan dengan hari bahagiamu ini. jika tak sesibuk seperti binaan lain ketika murabbinya menikah, paling tidak aku ada di dekatmu, turut menyaksikan ceritamu ini, juga melihat langsung lelaki yang kini telah menjadi suamimu, yang telah berhasil menaklukan hatimu.
“Kakak…..,kak Ita,” Hajar menyahut. Aku tahu, ia pasti menangis. Sebab ia memang paling cepat menangis diantara kami. Paling cepat terharu. “Saya menangis ini kak, bacanya. Terharu,” lanjutnya lagi.
Sedang Andira kembali dengan emoticon terharu. Ia sepertinya telah berderai air mata, sama seperti Hajar. 2 akhwat ini memang cepat sekali terbawa keharuan. Menonton film saja, mata Hajar sampai bengkak karena menangis, apalagi dengan kabar ini.
Sedang aku jangan ditanya. Aku hampir saja terbawa Hajar dan Andira jika saja tak ada crew disekitarku. Bahagia sekali, juga sedih karena jauh.
“Aaah, lagi. Menangis lagi, tidak berhenti-berhenti dari tadi,” kali ini Andira berusara.
“Barakallah Kak, semoga memberi keberkahan kepada keluarga baru kakak, sakinah, dan mawaddah warohma,” ucap Hajar, yang sedang dalam masa pemulihan dari sakitnya.
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Kecuali tersenyum, dan tersenyum. Sebab, kisah ini pernah ku tuliskan dalam cerpenku yang sekarang tak kunjung aku selesaikan. Bahagianya, imajinasiku itu, terjadi pada kakak Guru. Sebuah kebetulan yang telah Allah rencanakan. Subhanallah.
Aku membayangkan pertemuanku pertama kali dengan kakak Guru, juga kawan-kawanku ini. Andira, Hajar, dan Aida. Jauh beberapa tahun yang lalu.
***
Palu, pertengahan 2012…
Pagi itu, langit kota Palu masih sama. Sama seperti kali pertama kakiku menginjak kota teluk ini. tepatnya satu tahun lalu.  Tahun pertama menjadi mahasiswa, dengan menikmati segala kesibukan menjadi mahasiswa Baru. Juga menikmati setiap jengkal kakiku melangkah melewati tangga asrama.
“Saya sarankan, Iker ikut MPM,” ucap Kak Ahmad sambil berlari kecil mensejajarkan jalannya denganku.
Aku yang memang telah tergabung dalam lembaga Dakwah extra kampus sejak SMP hanya tertawa. Sok bisa mengerjakan semua sendiri. Dan saat itu aku bertekad untuk belum bergabung dengan lembaga apapun karena ingin focus dengan kuliah.
Menjadi mahasiswa baru. Segala rutinitas sebagai maba harus aku jalankan. Saat itu aku belum kenal sama sekali dengan andira, karena ia angkatan 2013. Juga Hajar dan Aida, apalagi Kakak Guru. Kewajiban mengikuti SII dan Mentoring mengantarkan aku bertemu dengan mereka. Tetapi tidak dalam waktu dekat. Kecuali Aida, karena kami sekelas di jurusan yang sama. Sebelum jauh kuceritakan kisah ini, kuperkenalkan kalian pada mereka.
Aida, lengkapnya Nur Aida, gadis berdarah bugis yang tinggal di Kabupaten Poso. Daerah yang rawan konflik antar agama. Kala itu ia belum berjilbab, masih jahiliyah, masih sibuk dengan rutinitas kongkow-kongkow dengan teman-teman jurusan. Juga aktif di Himpunan. Tetapi sekarang, Alhamdulillah telah menjadi akhwat yang sibuk dengan online shopnya.
Aku dan Aida, meski satu jurusan tapi tak dekat. Aku hanya sebatas tahu ia Aida, dan begitupun Aida. Pasca SII, kami satu kelompok dalam mentoring. Tetapi mentoring kami hanya berjalan satu kali tatap muka bersama pementor, Kak Rohma.  Sedikit susah memang, mengajak mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi pada kegiatan seperti ini. ini kenyataannya. Bahkan tidak hanya di kampusku, di beberapa kampus lain pun demikian.
Di tahun ini, belum ada cerita antara Hajar dan Andira. Baru aku, Aida dan kakak Guru. Kakak Guru menjadi pemateri pada SII. Aku sebenarnya tak kenal dan tak terlalu memperhatikan kakak Guru. Nama lengkapnya Thalhah Al-Habsyi, alumni Ilmu Komunikasi. Saat itu, aku dan teman-teman ilmu Komunikasi bersorak, karena beberapa pemateri dari alumni Ilmu Komunikasi.
“Saat itu, Aida and the geng, paling heboh. Rame dan kacau,” ucap Kakak Guru yang belakangan ia sampaikan pada tahun 2015 ini.
“Dan Iker, saya sudah mulai perhatikan. Dan menjadi sasaran target kader, karena melihat jilbabnya sudah syar’i. saat itu, saya pikirnya Iker ini pendiam. Eh, ternyata Masya Allah, cerewetnya,” lanjut kakak Guru.
***
Palu, Pertengahan 2013…
Aku masih menghabiskan liburanku di Kampung halaman tercinta. Tiba-tiba saja Aida menghubungiku. Meminta kontak kak Rohma. Kuberikan, lalu setelah itu tak ku pedulikan selebihnya. Ternyata tanpa sepengetahuanku, Aida telah berhijrah. Ia bahkan meminta untuk mentoring kembali pada kak Rohma.
Dengan penampilan barunya, ia menuju mushollah. Bermaksud menemui Kak Rohma. Kak Rohma kaget bukan kepalang, ketika ia menyadari yang mencarinya adalah Aida yang telah berjilbab. Aida mungkin menemukan Hidayahnya pasca ikut TOT (Training Of Trainer) yang kembali dipertemukan Allah dengan Kakak Guru.
Pasca Liburan, aku yang sudah terbiasa tak mentoring diajak kembali Aida untuk mentoring. Kami melapor pada Kak Rohma. Tapi apa yang Kak Rohma katakan?.
“Aida, Iker, nanti kalian mentoringnya sama Kak Thalhah saja ya. Dia alumni Ilmu Komunikasi dan pastinya bakal cocok dengan kalian.”
“Kak Thalhah itu yang mana?. Tidak mau, ah. Nanti kalau dia kejam bagaimana?,” ucapku.
Aku lupa apa komentar Aida saat itu. Tetapi ia sudah mengenal kak Thalhah saat TOT. Sementara aku terus membujuk Kak Rohma agar mentoring padanya saja. Alhasil kami mentoring bersama Kak Thalhah yang biasa dipanggil kak Ita. Karena sudah masuk maba lagi, dan aku telah menajadi kakak senior, mentoring kami digabung dengan maba 2013. Disinilah aku bertemu dengan Andira.
Mentoring di tahun 2013, personil kami cukup banyak. Namun yang mampu bertahan hanya beberapa. Andira, Aida, dan Aku. Sedang Hajar, ia baru bergabung di tahun 2014 sebab ia beda fakultas dan baru saja dikader di KAMMI. Aku, Aida, dan Andira, mulai membangun chemistry dengan kakak Guru. Meski kadang malas-malas mentoring.
***
Palu, 2014….
1 tahun kami bersama. Aida lah yang lebih dulu dari aku dan Andira bergabung di KAMMI. Kalau tak salah awal 2014 atau mungkin akhir 2013. Entahlah, aku tak terlalu ingat. Saat itu aku juga telah mendapat titah guru, untuk ikut pengkaderan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Namun, aku belum siap, tepatnya belum mau. Belum mau untuk bergabung dalam barisan itu.  Barulah akhir Desember aku bergabung di KAMMI. Lagi, kalau tidak salah. Aku tak terlalu ingat. Tapi yang pasti ketika ikut kegiatan pengkaderan, aku baru saja menikmati stand-stand setiap Daerah yang ada pada pameran nusantara.
Entah angin apa yang membawa langkahku menuju lokasi DM 1 (Daurah Marhala) 1. Disana telah mulai materi. Baru saja. Sebab pembukaan kegiatan siang hari, dan aku baru datang pada sore hari. Ketika menampakkan wajah, Aida langsung bersorak.  Bersorak akhirnya aku bergabung bersamanya di KAMMI setelah beberapa kali diajak untuk ikut, namun aku tak menanggapi. Di ruangan itu telah duduk manis Andira, menjadi peserta. Kami semakin akrab menghabiskan waktu bersama. Kakak Guru pasti senang.
Andira, gadis suku bugis yang memiliki nama lengkap Andi Iramayanti. Hobby masak dan tentunya anggun. Pertama  kali bergabung dalam lingkaran mentoring, ia lah hijabers yang setia setiap pagi melipat sana-sini jilbabnya. Membentuk pola jilbab yang menarik, cetar namun tetap syar’i. salutnya ia selalu sabar membentuk pola jilbabnya setiap kali ngampus. Juga tercatat sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2013.
Kakak Guru, yang sudah aku perkenalkan tadi juga punya geng. Namanya Al sifwah. Artinya teman dekat. Begitulah, aku tak tahu pasti. Alumni ilmu komunikasi yang berdarah Arab. Wajahnya pun berperawakan Arab. Bicaranya lembut dan tak pernah mengeraskan suaranya. Itu yang aku tahu. Sebab ia memang tak pernah berkata keras pada kami. Khususnya padaku yang bandel ini. selalu saja ia tersenyum setiap kali meladeni pertanyaan-pertanyaanku juga Aida dan Andira yang kadang nyeletuk, tanpa direncakan.
Lingkaran Iman kami semakin lengkap dengan kehadiran Hajar. Andi Siti Hajar, mahasiswa jurusan Bahasa Inggris FKIP angkatan yang sama denganku. Masa-masa Jahiliyah kami. Hajar juga masih jahiliyah. Kami dipertemukan dengan kondisi yang masih belum rapi, berantakan, dan berhamburan.
Jilbab yang dikenakan Hajar sama dengan Andira. Hijabers, tapi lebih pendek dari panjang jilbab yang dikenakan Andira. Masih diawal, masih belum tersentuh ilmu soal wajibnya berjilbab + syar’i  lagi.
***
Yogyakarta, 23 Oktober 2015.
Aku kadang tak pernah membayangkan, jika kita tak dipertemukan oleh Allah, mungkinkah kita akan bertemu. Hingga 2014 pun usai, berakhir. Dan memasuki 2015 yang penuh warna. Bahkan hampir berakhir. Berakhir dengan kesibukan kami masing-masing. Aku yang tengah berjuangan melewati proses magang di Tanah Majapahit ini, Aida yang sedang berjuang sama denganku di lembah Palu, Andira yang penuh semangat mengurusi MPM Al-Jihad, dan Hajar yang juga berjuang pada KKN dan PKL nya. Terlebih kakak Guru, yang penuh kesibukannya untuk Dakwah hingga akhirnya memberi kabar tentang pernikahannya. Kabar selanjutnya adalah lingkaran Iman kami akan berganti Murabbi. Bukan Kakak guru lagi.
Aku dan juga yang lain pastinya tak ingin terjadi. Kami ngambek, bak anak SD yang tak di kasih uang jajan ibunya. Hati kami meronta, meski saling berjauhan. Seperti lirik lagu Rabithah, yang menjadi identitas setiap pengkaderan di KAMMI. Hati kami telah terpaut, telah saling mengingat. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu, berhimpun dalam naungan cinta-Mu. Bertemu dalam ketaatan,bersatu dalam perjuangan, menegakkan syari’at dalam kehidupaaan….
Rindu. Hanya ini yang mampu ku goreskan. Teramat rindu bahkan. Ukhuwah yang kita bangun dengan kedipan mata. Bukan secepat kilat, tapi butuh proses, butuh semangat, dan sebongkah kesabaran. Lalu ketika kita benar-benar telah terpaut hati kita, malah ingin dipisahkan. Aku tak berburuk sangka pada Allah. Mungkin yang Allah kirimkan untuk menggantikanmu lebih baik darimu. Tetapi, lingkaran iman kita ibarat cinta pertama. Yang akan sulit tergantikan dengan siapaun, meski ia punya segudang kebaikan yang lebih darimu. Cinta yang penuh cerita. Yah cerita. Sebab rasa-rasanya baru kemarin kita Liqo bersama, dan Aida selalu menjadi adik binaanmu yang paaling cepat merespon jika kita bicara soal cinta.
Andira yang selalu menyuguhkan penganan untuk mengganjal perut kita yang keroncongan setiap kali Liqo di rumahnya. Bahkan saat tak Liqo di rumahnya pun, seringkali ia membawakan kita sesuatu yang bisa dimakan.
Hajar yang paling sering tak menjawab telpon ketika Liqo akan dimulai dan ia tak kunjung muncul. Lupa, Handphone di silent dan segala khilafnya turut menjadikan cinta di hati kita semakin kuat.
Atau ketika Liqo akan dimulai, antara kami berempat akan saling memerintah untukmenjadi petugas. Ada yang mulai mengambil alih menjadi MC, Tadabur ayat, Fiqih Wanita, Sirah Nabawiyah, bahkan ada pula yang mendapat peran ganda. Ini karena kami tak mempersiapkan sejak jauh-jauh hari.
Atau kami akan saling berpandangan ketika setor hafalan. Karena hafalan kami yang jua bertambah. Kami tak mampu berbuat apa-apa lagi. Terlebih aku, kecuali mengenang kisah kita. Barakallah Kak, semoga menjadi keluarga Samawa fii Dakwah.
Ah kakak guru. Padahal aku akan memperkenalkamu pada ibuku. Biar besok-besok,  yaah.. kembali aku teringat goyunan kita tempo dulu. Di lingkaran iman kita. Lalu nikmat Tuhan mu yang manakah yang engkau dustakan?. Sungguh, jika kita  menghitung-hitung nikmat Allah, maka dunia dan seisinya tak akan mampu menandinginya. Salam penuh Cinta.
***


                                                                                     Yogyakarta, 23 Oktober 2015

                                                                                               Ikerniaty Sandili




Komentar