Kolaborasi Hari Kedua : Menapaki Posko Pengungsi, Keluhan tentang Logistik Masih Terus Terdengar

Fajar kedua kami di tanah Kaili, setelah guncangan dahsyat disusul gelombang maut menghantam kota Palu. Di basecamp kami, Tim Kolaborasi #PaluBangkit yang bertempat di Jl. Garuda, kami bergerak. Setelah guncangan kecil, kami mengucek-ngucek mata kami di shubuh hari. Menunaikan kewajiban, mencium ujung sajadah.

Tak ada suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan menemani shubuh itu. Seiring gelap berubah pagi, kami berkemas. Merapikan baju kami, meski mandi sekali sehari, kami harus tetap nampak segar. Mata-mata kami harus berisi nyala optimis di hadapan pengungsi, yang ibu bapaknya tiada, yang anaknya belum ditemukan, yang saudaranya tersisa manusia kaku yang disebut mayat, dan yang tempat tinggal mereka hanya bersisa puing-puing reruntuhan, yang aroma bangkai manusia masih menemani.

Matahari kota Palu rasa-rasanya lebih panas dari sebelum air laut menghantam keceriaan, dan membunuh kemegahan gedung-gedung bertingkat. Ah ya, bagaimana pun agungnya sesuatu, Allah-lah Maha Agung. Karena itu kami yakin, #PaluBangkit pasti bisa.

Seperti biasa, kami sarapan bersama sebelum bergerak. Hati harus jauh lebih kuat kalau-kalau menemukan mayat di pinggiran Pantai Talise atau di bawah reruntuhan, meski air mata nyaris tak bisa dibendung.

Membawa bahan logistik berupa air mineral, beras, mie instan, susu, malkist, roti tawar, popok bayi, dan beberapa kebutuhan lain, mesin kendaraan kami menderu, membela jalanan sepi kota palu yang terbelah-belah di beberapa titik. Bahkan sampai amblas.



Kami menyambangi camp pengungsian perumnas Balaroa, dan Desa Salove, Kec. Dolo Selatan Kab Sigi. Di Balaroa, perumnas itu kini tersisa tawa-tawa pengungsi di sela traumatik. Di sana, pasokan logistik bisa dibilang aman. Bantuan lewat TNI sudah disalurkan, lengkap dengan TNI bergabung di tenda pengungsi. Ada pos kesehatan dengan tim medis yang stay. Rumah mereka tidak ada yang tersisa. Tanah di titik itu amblas 7-10 meter.

Seorang batita merengek-rengek pada ibunya, meminta jajanan. Kami mengeluarkan roti tawar beserta _frisian flag_. Bahagia sekali anak itu dan langsung dilahapnya roti itu berteman caramel frisian flag yang akrab di telinga kita susu coklat. Tanpa ini-itu, kami duduk bersama. Memberi mereka (pengungsi) ruang bercerita.
Bersamaan dengan Balaroa, tim kami yang lain menuju Kab Sigi. Jarum jam tangan kami menunjukkan pukul 5 kurang 15 menit ketika kami start. Memang kesorean, risikonya kami akan kembali ke Basecamp di malam hari.

Kurang lebih 15 menit, mobil bermerk futura yang dikemudikan tim kami Syahril, memasuki tugu Kab Sigi. Pemandangannya tidak jauh beda dengan hari kemarin. Puing-puing reruntuhan masih menghiasi jalan. Pun tenda-tenda pengungsian. Di seberang kanan jalan, pengungsi berebutan logistik dari relawan. Sampai di sini, jelas sekali jalanan penuh lumpur yang telah mengering, dan dikeruk buldozer, sehingga jalanan dapat dilalui kendaraan.

Masuki Kec Dolo Selatan, di kiri jalan padi menghampar, ada yang mulai menguning. Jagung-jagung tumbuh subur, dan beberapa jenis tanaman warga. Pemandangan yang cukup memanjakan mata kami. Tapi tidak pemandangan di jalanan beraspal. Jalanan yang dilalui kendaraan roda empat kami meliuk-liuk, miring ke kiri dan kanan, salah kemudi sedikit saja ban mobil bisa masuk lubang. Ya, jalanan seolah selimut yang bergulung-gulung, kadang menggelembung, pecah-pecah besar-besar, miring, hingga putus akses mobil.

Kami memilih memarkir kendaraan. Lalu melanjutkan dengan berjalan kaki sekitar satu kilo meter.  Langit mulai menguning. Gelap menghampiri. Perjalanan kami hentikan. Kami memilih mengobrol dengan masyarakat sekitar. Anak-anak tertawa-tawa melihat tim kami menyodorkan kamera. Dari sawah yang menghijau mereka melambai-lambaikan tangan meminta difoto kembali. Dua batita menatap kami dengan bingung. Di Camp pengungsi kata warga tidak banyak lagi. Karena sebagian besar memilih mendirikan tenda di halaman depan rumah mereka karena lapangan berair akibat hujan. Pengungsi ramai di beberapa ratus meter dari rumah mereka. Belum tersentuh bantuan kata mereka.
"Kemarin pernah ada yang memberikan bantuan dari pemerintah. 25 kg untuk 1 RT dan mie instan 3 bungkus," ucap seorang bapak.

Kami manggut-manggut. Bapak itu melanjutkan ceritanya. Tim medis dan obat-obatan juga sangat minim. Mungkin karena akses jalan yang susah.

Setelah memperoleh beberapa data yang kami butuhkan, kami bergegas pulang. Jalan sepanjang Kecamatan ini masih sepi. Hanya ada beberapa posko pengungsian di tepi jalan yang memiliki mesin genset. Selebihnya berteman gelap gulita dan sepi. Kami akan melanjutkan perjalanan esok hari dan membagikan logistik, pempers, obat-obatan, dan lain-lain. Beberapa dos logistik sudah lebih dulu kami serahkan pada pengungsi di Solove Tara.

Pukul 08.30, kami tiba di basecamp relawan #PaluBangkit.

Selain 2 titik, beberapa titik juga kami sambangi. Layana, menjadi pusat pengungsi masyarakat Mamboro. Di sana beberapa kali mereka di data, tapi bantuan tidak kunjung tiba. Mereka hanya membutuhkan beras dan obat-obatan. Sayur masih bisa mereka dapatkan di kebun-kebun sekitar camp pengungsian.

Kebersihan sangat minim, karenanya banyak anak-anak menderita sakit perut, dan akhirnya diare. Seorang ibu tertimpa batako. Kepalanya bengkak, juga tidak bisa melihat. Tim medis hanya menitipkan obat pereda nyeri, dan meminta si ibu menuju posko. Sayangnya, si ibu kesusahan karena tidak bisa melihat dan susah berjalan sekalipun pakai kendaraan.

Di bagian pesisir, sepanjang pantai silae yang berbekas puing-puing itu, kebanyakan warga mengungsi di Silae, Tipo, dan Buluri. Di Silae, orang-orang mengungsi di Winners. Pembagian logistik dan kebutuhan lainnya belum menyeluruh. Di Tipo, para pengungsi merupakan korban tsunami secara keseluruhan. Suplai logistik, obat-obatan, sudah cukup memenuhi. Para korban yang luka-luka dan sakit hanya mendapat penanganan relawan tim medis yang di lokasi. Air bersih di sini berlimpah, hanya belum ada penampungan air.

Terakhir menuju Buluri, ada 3 posko pengungsi. Air bersih  mereka dapatkan dari pipa-pipa pecah di hutan. Menapak kaki di sini, kami mendaki ke dalam hutan, melewati kuburan. Pembagian logistik juga masih minim. 4 gelas air mineral, 3 bungkus mie instan, dan 1 liter, kesemuanya untuk 10 KK.

Palu, 03 Oktober 2018
Salam,


Tim Relawan #PaluBangkit

Komentar