Hujan Mengguyur Tanah Kaili

Oleh Ikerniaty Sandili


Hujan, suka sekali mengguyur tanah Kaili akhir-akhir ini. Di basecamp kami, tim relawan Palu Bangkit, permadani kami, dari terpal oranye merembes beberapa tetes air, bukan karena terpal bagian atap dipasang tidak standar seperti semestinya tenda saat camp pramuka. Melainkan karena tekstur permukaan pijakan kami. Beberapa dari kami sibuk menyelamatkan berkas, charges, kabel-kabel, dan lain-lain. Ah betapa repotnya hidup di tenda.

Beberapa kali hujan, rutinitas kami selalu demikian. Hari ini kami berkesempatan menuju titik pengungsian Desa Tipo dan Kelurahan Buluri. Tidak jauh dari Palu, tepatnya basecamp Relawan Palu Bangkit. Hanya berjarak 1 km. Hanya saja kami sempat tersesat mencari lokasi mengungsi mereka. Rekan kami, Fitri yang jauh-jauh dari Jakarta menaikkan kaca mobil. Hujan kembali berjatuhan, perlahan-lahan lalu menderas. 3 Sepeda motor mengikut di belakang mobil andalan kami, milik kerabat seorang pengusaha, sengaja ia "wakafkan" sementara sebagai kendaraan operasional misi kemanusiaan. Wajah-wajah kami sedikit basah. Rintik hujan mereda. Anak-anak tanpa diminta mulai mengerumuni kami. Tim medis menggelar obat-obatan.

Beberapa kali mobil kami berputar-berputar, berhenti sebentar, lalu lanjut lagi. Mobil yang dikemudikan Bintang, melambat dan berhenti di titik pengungsian para korban gempa dan tsunami. Sembari membongkar paket donasi bayi dan jajan untuk anak-anak, kami mendekat ke tengah pengungsian. Anak-anak merapat, beberapa orang dewasa memeriksakan kesehatannya.

Hujan mereda sebentar saja. Ketika kami bertepuk semangat bersama anak-anak, air langit itu menderas. Bergegas kami berlari ke bawah tenda salah satu pengungsi. Di bawah hujan, kami duduk melingkar lagi. Senyum-senyum anak-anak tiada henti mengembang. Berbalas pantun hingga bernyanyi diiringi riuh tepuk tangan. Ah bahagianya. Sampai ada seorang anak  menyanyi lagu Kaili,  Randa Kabilasa, kemudian semuanya turut bernyanyi. Seketika, di hati kami terasa gamang, duh, ada sedih menyeruak dari dasar kalbu.  Kami ikut bernyanyi, tapi tidak ada lagi senyum. Kami sadar, kengerian masih membekas. Betapa traumanya mereka. Lagu itu  menjadi simbol hancurnya tanah Kaili dari nada syahdu nan sedih.

Tidak lama kami bercengkerama, hujan masih menderas. Setelah kami bagikan paket snack untuk anak-anak, kami berlari di bawah hujan, berkejaran berlomba masuk mobil, dan berpindah ke titik lain yang jaraknya tidak jauh dari titik awal. Tim medis masih bekerja.

Jika di basecamp kami sibuk merapikan barang-barang kami saat hujan, di sini para pengungsi juga merapikan tenda-tenda mereka. Barang-barang mereka basah, terpal lantai mereka jadi jalur air hujan mengalir. Mushallah darurat mereka juga basah. Seorang ibu merapikan tendanya, basah-basah ia membuat selokan. Di bagian tenda yang lain juga demikian, membuat selokan, biar air yang merembes tidak mengalir melalui tenda  Tak tahan kami melihatnya, miris. Sekarang curah hujan  sedang sering-seringnya. Bisa dibayangkan betapa repotnya mereka.

Hujan mereda, kami kembali bermain dengan anak-anak, seperti di titik awal. Lalu kami membagikan snack, perlengkapan bayi, dan berlanjut ke titik terakhir.

Kalau sebelumnya lagu Randa Kabilasa cukup mengoyak-ngoyak hati, di titik ini, anak-anak bernyanyi lagu posisani. Bahagia sekali mereka. Posko mereka ini, di gunung Desa Buluri. Untuk Menemukan ini, kami perlu melewati beberapa gunung. Hidup di bivak-bivak mereka, seperti sebuah perkampungan. Korban gempa dan tsunami yang luka-lukanya mengering, sudah bisa senyum. Tapi tidak dengan Al Khaf (2 tahun) yang kakinya harus di jahit, tubuhnya memar dan lebam, juga luka-luka.

Tim medis kami bergerak, membersihkan luka si adik. Membuka perbannya, dan mengganti dengan perban baru. Al Khaf menangis, meraung-raung, menahan sakit. Tidak henti-hentinya air matanya berlinangan. Pastilah sangat sakit. Orang dewasa pun meringis, apalagi bocah sepertinya. Ibunya, tidak tahan melihat putranya itu menangis. Matanya menerawan ke langit dari teras rumah kerabatnya. Digigitnya bibirnya menahan perih yang anaknya rasa. Kami yakin, andai bisa ditukar, ibunya pasti ingin ia saja menahan perih itu.

Al khaf, terseret berapa ratus meter dari rumahnya. Bumi yang bergoncang disusul air laut yang tumpah ruah, rumah mereka terseret. Kini rata tanah. Si Al Khaf menangis dalam gelap. Ia terpisah bersama keluarganya yang sudah berlari pada ketinggian. Al Khaf meraba-raba dalam sepi, dalam gelap yang mencekam dan menakutkan. Bocah berusia dua tahun itu panik. Sementara bumi masih digoncang.

Ah kami tidak sanggup. Tim Medis kami bekerja, tim dokumentasi kami tersandar di tembok, ngilu hatinya, gemetar tangannya. Kakak si Al Khaf bercerita. Adiknya ditemukan oleh orang yang melewati jalan itu. Mereka mendengar tangis anak, lalu turum dari mobil dan mencari sumber suara itu. Al Khaf di evakuasi, dan dipertemukan dengan ibunya.

Hujan semakin menderas. Luka Al Khaf selesai dibersihkan. Kami meninggalkan si adik, tangisnya agak reda. Dan sepanjang jalan di bibir pantai yang bersisa puing-puing rumah itu, meluap air mata kami, air mata anak-anak kecil yang terpisah dari orang tuanya, air mata indonesia.

(Palu, 13 Oktober 2018)

#PaluBangkit #Rubalang #FIMNEWS #FIM #story #IdeBerbagi #volunteer #PasigalaBisa #kolaborasi

Komentar