Catatan Perih di Sela-sela Reruntuhan

Pasca guncangan (re:gempa) kecil kali kedua, Tim Kolaborasi #PaluBangkit yang terbagi beberapa tim menyusuri sepanja ng jalan Kota Palu. Usai Sarapan, kami menyambangi beberapa camp-camp pengungsian mulai dari  Petobo, Perkantoran sepanjang jalan soekarno-Hatta, pantai Talise, areal Kampus Untad, hingga Pantoloan.

Siang hari, puing-puing reruntuhan semakin jelas terlihat. Aroma tidak sedap menyeruak, tercium di mana-mana, terlebih pada titik-titik terparah hancurnya rumah-rumah penduduk, dan gedung-gedung besar. Aroma itu seperti bau bangkai jasad manusia yang belum ditemukan dan dievakuasi. Satu atau dua mayat yang sudah ditemukan (area Mamboro) diletakan dipinggir jalan, di atas batu-batu bata rumah yang hancur berkeping-keping, mayat itu terbungkus kantong jenazah fan oleh petugas dievakuasi.

Baunya bukan main, kami menutup hidung, mobil yang kami kendarai melambat. Masyarakat nampak mengecek puing-puing rumah mereka, berharap menemukan sesuatu yang bisa membuat mereka bertahan lebih lama.

Memasuki beberapa camp-camp pengungsian, ibu hamil dengan luka-luka di kakinya yang mulai mengering duduk di bawah tenda terpal. Anak-anak batita sampai balita sudah bisa berlari-larian, langkah mereka lincah, tapi senyum mereka tidak ada. Bola mata mereka sayu tanpa cahaya. Kalau kami sapa, mereka hentikan langkah mereka, lalu diam dengan tatapan bingung pada kami.  bayi-bayi yang masih dalam ayunan, seringkali muntah-muntah. Ada yang terserang pilek, batuk, hingga diserang atsmah.
Ibu-ibu hingga para nenek-nenek, mengepulkan asap di bagian tenda belakang. Mereka memasak nasi, sayuran, atau  sekadar mendidihkan air. Kami membungkuk, menyalami mereka, dan memberi senyum terbaik kami. Mata kami menyelidik isi tenda. Ada sesisir Pisang mentah, dan beberapa umbi-umbian untuk menghidupi 15 KK, sekitar 23 orang.
Hati kami merintih mendapati itu. Ketika kami tanya, bagaimana mereka bertahan, kata mereka, apa yang tersisa dalam rumah mereka, pekarangan rumah, diambilnya lalu dibagikan sama rata sesama pengungsi.

Kendaraan kami melaju menuju arah Petobo. Siang sedang terik-teriknya. Di simpang 3, petugas mempersilahkan kami masuk ke lokasi. Kalau di tempat lain reruntuhan yang terlihat, di situ kami tidak melihat apa-apa selain lumpur yang telah mengeras dan menggunung. Di bawah gunung lumpur itu, rumah-rumah warga tertimbun. Betapa banyaknya manusia-manusia yang telah membeku bersama lumpur. Buldozer lalu mengeruk gundukan lumpur itu, nampaklah rumah-rumah penduduk yang pemiliknya tidak lagi bernyawa. Kami mengatur langkah mundur, mengecek satu camp pengungsi tak jauh dari gundukan lumpur itu, bersamaan dengan seorang ibu yang tersedu-sedu menangis, karena keluarganya menjadi salah satu korban.

Ada satu kisah menjelang senja. Usai menengok mereka, kami membawakan  beberapa kardus logistik. Disambutnya kami dengan senyum berbonus penganan, kue masih hangat, pertanda baru dibuat. Kami heran, kami pikir tim yang mendata salah menuliskan nama camp dan alamat. Ternyata, Kue itu diolah dari tepung terigu yang tidak banyak dari salah satu pengungsi yang memiliki warung, dan tidak roboh. "Kami buat kue, lalu dibagikan ke semua pengungsi, supaya cukup untuk kami makan. Ini hanya kue dari adonan tepung tanpa campuran apa-apa lalu kami goreng," ucap seorang pengungsi.

Duh, kami tak sanggup berlama-lama. Selain karena kami harus melanjutkan tugas, hati kami terlalu lemah untuk menyaksikan betapa mereka butuh lebih banyak dari yang kami hantarkan.

Kami akhirnya berpamitan, lalu menaiki mobil. Mesin mobil dibunyikan, para pengungsi melambaikan tangan. Kami tengok, sedikit senyum mereka mengembang.

Kami kembali ke basecamp Tim Kolaborasi #PaluBangkit. Tanpa lelah, meski aroma tubuh kami seolah diikuti aroma mayat di RSUD Undata Palu, karena sempat melihat evakuasi mayat yang telah berulat. Langit mulai gelap, kami suauri kembali reruntuhan sepanjang jalan. Dahulu, beberapa hari sebelum kejadian, Jembatan Kuning  itu menawan, pantai Talise jelas mempesona. Sekarang segalanya menjadi lebih kelam dari gelap malam. Lembah Palu, tanah Kaili itu, kini menjadi kota mati.

Kami cukupkan hari ini, esok Kami akan bekerja lagi. Meski tertatih Tim kolaborasi #PaluBangkit yakin Kota Kelor ini akan kembali pulih.

Palu, 03 Oktober 2018
(Di Sela-sela reruntuhan)

Salam,

Tim Kolaborasi #PaluBangkit
*)ikr






Komentar