Sinopsis buku Menggugat Purnama


Risa Annisa Mau’izhoh (22), Sarjana Ilmu Komunikasi, merupakan satu-satunya pemuda dari Sulawesi Tengah terpilih sebagai relawan sosial pendidikan  yang salah satu tugasnya mengajar di Sekolah Dasar, di antara ribuan pendaftar lainnya. Ia adalah perempuan berjilbab, warna favoritnya hijau, penyuka kopi, penikmat senja, dan menyukai tantangan.
Oleh yayasan, ia ditempatkan di desa transmigrasi, Desa Pian Raya, Kec. Muara Lakitan, Kab. Musi Rawas, Sumatera Selatan, selama satu tahun. Di desa, ia bertemu menemukan berbagai macam kendala. Mulai dari kondisi jalan dari desa menuju kota, kondisi masyarakat, terbatasnya sinyal telepon, kondisi sekolah dan murid-murid. Murid-murid acap kali membuatnya beristigfar setiap kelas berakhir, karena perangai mereka. Tapi dari anak-anak muridnya itu, ia menyerap kekuatan yang luar biasa. Kekuatan untuk terus berjuang dan bersyukur.
Seperti pada dua orang anak, Erni dan Nanang, dengan penampilan kumal, mengajarkan bentuk kesyukuran itu dengan sederhana. Mereka baru dapat mengenyam serunya sekolah ketika usia mereka seharusnya sudah kelas lima dan kelas tiga. Nanang, begitu berbinar-binar matanya ketika seorang ibu menitipkan ban pinggan anaknya yang sudah tidak terpakai lagi untuknya lewat Risa, agar ketika sekolah celana seragam sekolahnya tidak lagi melorot, dan tidak perlu dipakaikan karet hitam tebal yang biasa digunakan untuk mengikat beban di jok belakang motor. Kakaknya, Erni, tersenyum berkali-kali ketika Risa membawakan seragam putih merah lengkap dengan jilbab putih, hasil donasi kawan sekolahnya. Ia bahagia punya seragam sekolah, setelah satu minggu tidak memakai seragam sekolah. Meski hanya seragam lama itu.
Berjuang dan bersyukur menyadarkannya bahwa menjadi guru memang tidak mudah. Murid-murid yang kesusahan berbahasa Indonesia, menjadikannya begitu susah berinteraksi. Ada muridnya yang begitu introvert, ada pula yang ekstrovert tingkat Dewa. Beberapa masyarakat tidak begitu paham esensi pendidikan. Pernah ada seorang bapak dari muridnya datang marah-marah pada Risa dan membuat komplek sekolahan sedikit ricuh, karena anaknya dijahili temannya saat Risa memberi pelajaran tambahan.
Tapi Risa tidak sendiri. Ada lima kawannya yang sama berjuang di desa yang berbeda. Diantaranya Azalia dan Lalita. Azalia, perempuan lulusan cumlaude ITB, berasal dari Purwakerto. Setiap pagi ia harus mengetuk pintu rumah murid satu per satu dulu untuk berangkat sekolah, agar ia punya murid. Lalita, asal Malanng, harus merelakan ayahandanya berpulang kepada Allah disisa-sisa masa penugasan. Ketiga temannya yang lain, Rudi, asal Indramayu, Sarjana Hukum UGM, dan tidak tega melihat perempuan menangis. Asep, asli Sunda, lulusan Teknik Universitas Padjajaran, paling jangkung, dan paling tua usianya. Dan yang terakhir, Syahril, jago masak, bernyanyi, paling kreatif, asal Makasar, sudah menyelesaikan magisternya. Tidak hanya Lalita dan Azalia, ketiga teman laki-laki Risa juga mengalami banyak kendala. Tapi setelah 12 bulan terlewati, ada banyak pelajaran yang dapat mereka ambil. Perjuangan-perjuangan selama 12 purnama itu, ketika kontrak kerja mereka berakhir, mereka dilepas dengan isak tangis. Kehadiran mereka telah menyatu dengan hati masyarakat, terlebih murid-murid. Tidak ada yang merelakan kepulangan mereka, kecuali dengan sederet pesan-pesan panjang. Kini Risa kembali ke lembah Palu, pun rekan juangnya, kembali ke dekapan ibunda.



Komentar

  1. Perjuangan tidak pernah sia-sia...
    Sejarah telah mencatat bahwa kalian Pemuda Mengajar yg rela berkorban utk memajukan pendidikan di Kabupaten Musi Rawas...

    BalasHapus

Posting Komentar