Pink, jenis warna ini begitu menggelikan bagi saya
sejak SMA. Warna kalem,yang tidak cocok dengan saya yang frontal. Berbeda dengan
kakak perempuan saya yang pernah menyukai pink. Sampai calon anaknya yang masih
dalam kandungan waktu itu, sudah ia belikan perlengkapan dan baju-baju bayi
warna pink. Padahal ia belum tahu jenis
kelamin bayinya secara pasti, karena tidak USG dan percaya kata orang pintar,
paman saya dari silsilah keluara bapak, tapi bukan dukun yah. Saya bilang
pernah karena sekarang dia lebih senang dengan warna biru.
Kita kembali ke pink. Kalau saya dibelikan
pernak-pernik berwarna pink, apapun mau dusty
atau lainnya, saya menolak mulai dari yang paling halus sampai mogok makan, heheheh.
Saya merasa dipermainkan, tidak dihargai warna yang saya sukai, hahahah,
segitunya ya. Maka dapat dipastikan saya tidak punya barang-barang berwarna
pink atau senada.
Pernah saya diberikan hadiah oleh tante saya, baju
tidur dengan warna pink dan motif kembang-kembang. Waktu itu saya kelas satu
SMA. Dan baju pemberian tante saya, saya lipat manis sekali dan saya simpan
dalam lemari baju. Beberapa tahun kemudian, baru saya pakai saat saya menjadi
mahasiswa. Saat itu saya tidak begitu membenci pink. Lagi pula, baju-baju saya
terbatas saat di rantau. Ditambah kalau
baju-baju saya yang sedikit itu telah masuk ke keranjang pakaian kotor. Sehingga
saya tidak punya pilihan, dan akhirnya saya pakai juga baju itu. Ini terpaksa. Tolong
digaris bawahi.
Keterpaksaan itu beberapa kali saya lakukan. Saya membeli
jilbab untuk baju baru saya. Biasa, baru dapat tempias gaji 13 kakak sepupu
saya. Jilbab itu seharga tujuh puluh ribu sama penjualnya, dan ia akhirnya memberi
saya dengan harga enam puluh ribu. Lumayan, sepuluh ribu buat beli seporsi nasi
tahu di warung Mas Joko dekat kampus. Ketika sudah di rumah, jilbab yang saya
beli seharga 60 ribu itu ternyata berwarna pink. Kok bisa? Padahal saat tawar
menawar, saya bisa pastikan itu bukan warna pink. Ditambah si empunya toko meyakinkan
saya, kalau itu bukan warna pink. Baiklah, nasih sudah menjadi bubur, apa boleh
buat. Tapi kalau bubur sih, bisa ditaburi masako ayam secukupnya, lalu diaduk, dan
jadilah bubur ayam masako, hahahah. Sayangnya jilbab warna pink itu tidak bisa dijadikan
bubur ayam, ya sudah saya mengalah.dengan terpaksa saya akhirnya pakai juga
jilbab itu dengan baju baru saya.
Kian hari, saya mulai dewasa memaknai warna ini. Kalau
diperhatikan dengan seksama, pink sebenarnya cukup manis. Dan kebencian saya
memudar. Meski begitu, saya tidak pula menyukainya. Bagi saya, hijau tetep
nomor wahid, yah meski baju-baju saya banyak warna abu-abu dan hitam. Abu-abu
itu saya tidak sengaja memilih, tapi kalau hitam, itu jelas supaya tidak
terlalu nampak kalau kotor, apalagi kalau dipakai buat berpergian, dan bagi
orang malas mencuci seperti saya saat di tempat jalan-jalan.
Sampai suatu hari di bulan Juli, saya akhirnya
memantapkan hati memilih warna pink dengan hati yang lapang-selapangnya, juga
sesadar-sadarnya. Tidak ada unsur paksaan. Apalagi iming-iming diturunkan harga
oleh pramuniaga. Wong saya belinya di Fhanref Boutique di jalan Soekarno
Hatta,depan Kampus Untad, yang saat itu penjaga tokonya bocah yang baru mau
masuk SMP, Syahrul namanya. Lagi pula, di butik emang udah harga paten. Kecuali
kalau punya orang dalam. Itupun kalo nawar tidak boleh terang-terangan, nanti
pengunjung lain pada cemburu, Hehehehe. Yang berabe yang punya tokoh, karena
orang-orang bisa nawar semua. Hahahah
Ngomong-ngomong soal butik, sebenarnya di butik tempat
saya menjatuhkan hati pada pink pertama kali itu, harganya dibanderol sangat
murah. Dan tentu kualitasnya tidak murahan. Saya sudah beberapa kali membeli
gamis-gamis yang dipajang di toko-toko,yang awalnya terlihat sangat cantik,
tapi saya harus menelan pil kekecewaan karena sampai dirumah, bajunya tidak sebagus
saat di toko. Udah gitu, gak bisa nyalahin siapa-siapa pula. Berbeda dengan
butik yang satu itu. Saya sampai memandang baju itu penuh cinta, hahahaha. Saya
jadi bingung, kenapa saya akhirnya jadi suka sama pink ya? Jadi pengen nabung
lagi, mau beli produk di butik yang sama. Hmm, gamis-gamis yang terpajang di
patung-patung itu, sudah jadi incaran saya.
Ditambah, yang jagain tokonya ramah sekali. Saya mengobrol
banyak hal dengannya sambil pilih-pilih baju. Dia bahkan ngasih saran dan seolah
tahu dunia fashion gitu. Itu Syahrul, kalau gak salah ya. Baru kali itu saya
dilayani sama bocah yang super lucu. Dia mengobrol dengan satu pertanyaan awal
dari saya. Kakaknya yang jagain toko sedang antar pesanan. Jadi, dia diminta
jagain toko. Ia menghafal harga dengan posisi baju-baju atau produk lain. “Pokoknya,
yang deretan itu harganya 150 ribu semua kak,” katanya. Katanya juga kakaknya
sudah berhenti kuliah, tapi nanti masuk kuliah lagi. Maksudnya kakaknya sedang
cuti, dan semester ini akan masuk kuliah. Dan ia begitu kegirangan saat bilang
akan masuk SMP di Kota Palu.
Saya meminta Syahrul membungkus gamis pink yang saya
pilih. Itu gamis pertama saya berwarna pink sepanjang saya mulai memakai gamis.
Atau selama umur saya sampai saat ini. Hah, lebay. Hehehehe
“Kakak, nanti ke sini lagi e,” Syahrul menyodorkan
baju yang sudah dibungkus rapi.
“Siap, kalo so ada uangku buat beli baju yang itu,”
saya menunjuk baju incaran saya selanjutnya.
“Iye kakak. Apa baju yang ini, cocok buat pergi ke
pesta dari yang itu.”
Saya tertawa. Memang benar penilaiannya. Jadilah baju
pink itu saya pakai ke walimahan teman saya. Hahahah. Semoga kalian tidak
membenci pink sebagaimana saya, lalu akhirnya jadi suka. Kualat kali namanya. Hahahah.
Sekian.
Pinkers
BalasHapushahahaha
HapusThe First itu