Merah Putih (Catatan Awal Pengabdian)

                         MERAH PUTIH
               (Catatan Awal Pengabdian)
                   Oleh Annisa Mau'izhoh*

           Langit menyisakan remang-remang. Jarum jam menunjukan waktu sebentar lagi akan bersama sang raja siang, mentari. Aku mengucek mataku, para gadis-gadis dari berbagai suku dalam satu barak berukuran 6 kali 3, masih terlelap pulas dengan dengkuran halus. Keletihan menjalar ke seluruh tubuh barangkali, sehingga kasur begitu meninabobokan. Ah tidak, kasur empuk di barak kami adalah benda paling dicintai penghuni barak ini sejak 17 April lalu.
          Aku duduk di atas kasur, sembari mengambil nafas dari perut. Di sekitar kasurku, barang-barangku masih sedikit berantakan. Belum aku rapikan, sebab lelah sudah tak bisa kuajak kompromi. Aku menarik nafas lagi. Pikirku berjalan pelan kembali pada pekan pertama pelatihan, dimana aku bersama 41 orang lainnya harus mengikuti pelatihan fisik.
Bagi orang-orang hebat, naik gunung adalah hal yang mudah dengan beban ransel gunung yang beratnya barangkali lebih berat dari berat badanku ini. Tapi bagi seorang perempuan yang biasanya hanya menunggangi kuda bermesin setiap harinya seperti aku ini, tentu naik gunung bukan perihal yang mudah aku lakukan. Apalagi, kakiku waktu itu sukses menghambat perjalananku dan berakibat pada kawan-kawan yang sekelompok denganku. Ah, aku tahu waktu itu alam sedang tidak berpihak padaku. Aku kesusahan. Untuk melangkahkan kaki saja pada jalanan berbatu yang datar, dan sesekali terjal ditemui.
            Aku menarik nafas panjang. Mengikat kuat tali sepatuku yang melorot, dan melanjutkan perjalanan dengan tertatih. Ada sekitar 7 kilometer lagi yang mesti dilewati dari total kurang lebih 8 kilometer. Itu artinya baru sekilo perjalanan yang aku taklukan. Ah, aku malu pada dingin angin kota Bogor ini, di puncak Cisarua.
“Seharusnya aku menjadi salah satu yang terkuat menjalani jalanan menuju puncak ini,” umpatku dalam hati.
          Langit berawan, lalu gelap pelan-pelan menggelayut di atas kepala-kepala kami, pertanda kami harus segera sampai di Desa Cikoneng, desa terakhir sebelum sampai pada puncak. Tetapi, rekan-rekanku itu harus menahan langkah panjang mereka demi untuk menungguku. Aku yakin, pasti telah ada yang kesal karena jalanku ini. Sampai salah satu dari tim kelompok menawarkan bantuan. Iba barangkali padaku yang malang ini. Lagi. Aku mengumpat dalam diam. Menyesali diriku sendiri, mengapa harus selemah ini.
        “Ker, tasnya dibawain aja yah?,” ucap pria yang belakangan menjadi partnerku membedah puisi-puisi tulisan kami sendiri, Manda namanya. Lengkapnya
Amanda Aidil Fitra. 
          Aku menatapnya sedikit agak lama. Memastikan, apakah ia benar-benar ingin membantuku.
“Nanti aku sama Upan bantu bawain,” lanjutnya lagi dengan anggukan kepala yang mantap.
         Aku akhirnya mengangguk. Kulepaskan ranselku yang berat. Lalu melanjutkan perjalanan lagi. Tapi masih sama, kakiku masih jua tertatih meski beban di pundakku telah berpindah. Sesekali aku melirik Manda dan Upan yang membawakan tasku. Betapa kasihannya mereka, karena harus direpotkan olehku.
            Kelakuanku untuk merepotkan mereka tidak berakhir disitu. Esoknya, setelah  malam atshma ku kambuh karena kedingingan, sebab tubuh diguyur hujan berjam-jam dan basah baju meresap dalam paru-paruku yang sedang masa recovery. Nyeri kakiku belum jua mereda barang sedikitpun. Jika aku berdiri dari duduk atau sebaliknya, akan sangat kesusahan seperti perempuan tua yang sangat tua, dan susah untuk berjalan.
                                ***
            Ketidakmampuanku karena kondisi kesehatan yang mengganggu itu, menimbulkan kejengkelan yang terang-terangan disampaikan padaku pada beberapa pekan kemudian. Angin berhembus pelan, matahari semakin meninggi mendekati waktu untuk sholat Dhuhur. Seorang gadis berdarah jawa dan lulusan terbaik Institut Teknologi Bandung (ITB), menyampaikan uneg-unegnya ketika pelatihan fisik.
          “Jujur Ker, aku waktu itu jengkel sekali. Karena Iker nggak bisa traking dan sedikit memperlambat proses kelompok kita,” ucapnya.
          “Tapi aku sadar, seperti yang dikatakan Wanadri waktu itu, bahwa kekuatan kelompok itu tidak terletak pada orang yang paling kuat, tetapi pada orang yang lemah. Aku juga sadar, ketika Iker cerita soal perjuangan Iker untuk kuliah. Disitu aku merasa bersalah,” akunya. Sebut saja Raharsih.
             Aku tersenyum. Bangga dengan pengakuannya. Meski telah kuketahui kejengkelannya itu, karena non verbalnya telah lebih dulu memberitahuku. Tetapi aku menggaris bawahi kata malas, yang bersumber pertama kali dari nasehat wanadri.
             Tidak sampai disitu. Karena memang ada beberapa orang lagi selain Raharsih yang tidak senang dengan kelemahanku waktu itu. Tapi aku sadar. Bahwa ini adalah hal wajar mereka membenciku. Jangankan mereka, akupun membenci diriku sendiri. aku malu menjadi yang lemah. Padahal kondisi ini pernah aku alami saat masih kecil,bahkan lebih meningkat level kesukarannya dibanding kali ini. Kali ini, jalanan yang dilewati agak lebar, muat untuk satu kendaraan roda empat atau roda enam. Lalu ketika hujan turun, jalanan becek ketika sampai dalam hutan.
                                 ***
            Aku masih duduk manis di atas kasurku. Waktu berlalu dengan begitu cepat. Padahal, jika aku hitung-hitung, aku baru saja mengagumi purnama yang kutemui setiap kali melewati jalan raya dari ruang Iphone ke barak. Atau aku menghitung bintang-bintang yang mengelilingi rembulan. Aku selalu menengadah ke langit, sebab ada hamparan kerelaan yang kudapati di langit malam depan rumah kosong, yang menjadi poros tengah ruang Iphone dan barak.
           Jejentik waktu memang memberi tanda tanpa harus aku menebak. Bahwa, sekarang adalah pekan terakhir pelatihan yang mesti aku dan 41 pemuda terbaik lainnya. saat ini aku menyadari bahwa aku telah berubah status menjadi dari Calon Pengajar Muda menjadi Pengajar Muda. Status itu ditandai dengan pelantikan Pengajar Muda, dan aku salah satunya.
              Pasca pelatihan fisik, aku membisiki pelan diriku. Memantikan misi dalam aliran darahku. Pelatihan fisik, boleh saja membuatku menjadi manusia paling lemah diantara manusia hebat lainnya. pelatihan fisik boleh saja membuatku menjadi perempuan berjibab syar’i yang memperjuangkan tetap memakai rok meski sedang mendaki gunung. Pelatihan fisik, boleh saja membuatku gagal menikmati hujan yang membasahi tanah coklat. Membuatku terjebak dalam pandang nanar pada sepanjang kebun teh, hanya boleh memandang. Tapi tidak pada survival. Aku harus membuktikan bahwa aku adalah perempuan yang memilih untuk tidak salaman pada non-mahram, memilih tetap memakai rok, tak melepaskan kaos kaki, tetapi bisa melintasi sungai berarus, dan mendaki gunung. Aku  tak ingin terlihat lemah dengan jilbab syar’i ku itu.
             Kucacat keinginan itu pada kertas plano yang kubagi kecil-kecil. Lalu aku tempelkan tepat di atas kepalaku. Setiap kali bersujud, aku pinta pada penggenggam nafasku untuk membantuku membuktikan pada mereka. Lalu, dengan bangga aku menyaksikan betapa Allah begitu sayang padaku. Permintaanku dikabulkan-Nya lebih cepat dan melebihi targetku.
              Terik benar-benar menyengat. Aliran keringat dalam tubuh jangan ditanya lagi. Bulir-bulirnya membasahi baju. 42 calon pengajar muda dibagi menjadi dua tim berdasarkan daerah penempatan. Lalu, setelah persiapan logistik dibagikan perkelompok, kami memulai pendakian. Tujuan kami adalah kaki gunung Burangrang, Jawa Barat. Gunung Burangrang adalah gunung yang bersebelahan dengan gunung Tangkuban perahu. Gunung Burangrang adalah salah satu sisa-sisa letusan gunung Sunda di zaman Prasejarah.
           Jalan menanjak yang hampir 50 derajat kulewati dengan mudah. Sementara teman-temanku yang lain sedikit tertinggal jauh. Mereka tertatih, nafas mereka tersengal. Ada yang berceloteh, lebih baik berjalan jauh pada jalan yang lurus, dibanding harus mendaki. Aku sesekali menunggu mereka sembari menarik nafas panjang. Kesyukuran yang luar biasa. Untuk pertama kalinya aku melewati sawah yang padinya siap panen.
            Jalanan masih terus menanjak. Aku tetap bersemangat. Tapi tiba-tiba nafasku tersengal. aku merasakan lelah yang sangat. Wajar barangkali, sebab jalan yang kami lalui setelah Desa terakhir adalah jalanan yang terus menanjak tanpa ada tanah yang datar. Aku memejamkan mataku sebentar. Menarik nafas panjang melalui hidung dan melepaskan lewat mulut. Kulakukan beberapa kali, saat kelompok kami beristirahat sambil minum air, membasahi kerongkongan.
           Ketika kubuka pejam mataku, berdiri di depanku sosok lelaki yang begitu aku rindukan. Bapak. Lelaki yang pertama kali mengajarkan huruf Alif, hingga hukum tajwid. Lelaki yang selalu ku minum kopinya dalam cangkirnya setiap pagi ataupun malam. Ia tersenyum manis sekali ke arahku. Ia lalu berbalik membelakangiku dan mendaki jalanan menanjak itu. Tanpa kusadari, kerinduan dalam dadaku mengejewantah menjadi satu tetes air mata, membasahi wajahku yang kusam berminyak bercampur keringat.
           Ku ikuti langkah bapakku di depanku. Barangkali hanya perasaanku. Tapi aku tak peduli. Aku lalu merasa menjadi anak perempuan berumur tujuh tahun, yang berlari-lari menyeimbangkan langkahku dengan langkah bapak. Bapak membawa beban. Aku tahu, perasaan menjadi anak perempuan kecil adalah sebuah kerinduan yang teramat sangat.
Dahulu, puluhan tahun silam, aku sering berjalan mengikuti bapak atau ibuku ke kebun. Dan saat ini, aku seperti mengulang masa itu. Melewati kebun sayur, jalanan mendaki, air pancuran, dan kebung cengkeh. Hanya saja, aku mengulang dengan keganjilan. Tidak bersama ibu, apalagi bapak.
“Oke, teman-teman, silahkan letakkan bebannya disini perkelompok. Lalu silahkan menyesuaikan membentuk barisan,” pinta Kak Ajo, salah satu tim Wanadri yang melatih kami pada agenda survival. Kami menurut. Meletakan beban kami dan berbaris dengan.
“Nah, teman-teman. Kita telah sampai di pasir limus. Kita akan mendirikan bivak perkelompok. Setelah itu silahkan masak, dan jam 8 malam tiap-tiap fasil akan berkunjung ke bivak-bivak teman-teman untuk melakukan sesi sharing,” lanjut ka Ajo lagi.
           Kami mengangguk. Lalu mengambil kembali beban kami dan menuju lokasi untuk mendirikan bivak. Lagi, tempat ini menggambarkan suasana kebun bapak dan ibuku. Beberapa pohon cengkeh, tanaman sayur-sayuran, dan suara jangkrik. Kami mendirikan bivak. Ada tiga bivak berdasarkan daerah penempatan. Ada Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten, Konawe, dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
          Di pasir limus (Pasir dalam bahasa sunda adalah gunung-gunung kecil), lagi, aku terus bernostalgia. Tidak hanya pohon cengkeh, tetapi juga bivak kami. Bivak kelompokku seperti tenda-tenda saat menjadi pramuka siaga zaman SD yang di dekor dengan bahan-abahan dari alam, lalu nanti, kakak pembina akan berkunjung.
           Lagi. Bernostalgia. Aku dan kelompok juga membuat perapian tidak dengan menggunakan perapian dari parafin. Tapi dari tungku batu. Aku merasa seperti sedang berada di kebun bapakku, mengambil air di pancuran dan membantu ibuku memasak dengan kayu api. Sesekali jika melihat pohon cengkeh, terbayang saat panen cengkeh, aku turut menjadi seksi sibuk untuk membantu memanen cengkeh. Bapak lalu membuatkan aku tangga dari bambu untuk memanen cengkeh. Satu pohon cengkeh kecil, yang buahnya cukup banyak menajdi sasaranku. Bapak menugaskan untuk memetik habis gagang-gagang cengkeh. Tapi biasanya aku lelah. Tanganku tak cukup panjang untuk menjangkau dahan-dahan cengkeh. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil cengkeh dari bundre (red. Karung. yang dilingkari besi dibagian bundaran awalnya, yang digunakan untuk menyimpan cengkeh saat masih di atas pohon) bapak.
Ah, hutan dan alam. Aku menemukan kekuatan dari situ.
                               ****
Fly Berjamaah
Pasir limus menyisakan tapak-tapak sepatu kami yang kuat. Ranting-ranting pohon cengkeh menjadi saksi cerita malam kami tentang bintang dan kerinduan yang merayu. Tanah, menampung sisa-sisa perapian kami yang menjadi abu dan bara api yang telah mati. Rumput-rumput berayun melambai tersentuh langkah-langkah kami meninggalkan pasir limus, berpindah menuju kaki gunung Burangrang.
             Di gunung Burangrang ini, aku dan 41 calon pengajar muda dipertemukan lagi setelah dibagi dua kelompok besar. Kami diajari lagi membuat bivak dari alam, dan perapian. Kami tidak menggunakan ponco sebagai bivak lagi, tetapi memanfaatkan bahan alam seperti bambu, dahan dan ranting pohon, akar-akar pohon, daun pisan atau daun pohon honje sebagai atap, juga sebagai dinding, dan juga pelepah pisang. Lalu, esoknya, kami belajar memakan apa saja yang bisa dimakan di hutan. Persediaan makanan kami yang tersisa, disita. Kami hanya berbekal golok, dan korek api, juga garam. Jadilah, jantung pisang menjadi menu favorit kami, yang dimasak dengan air dan garam. Rasanya, asin, hambar, pekat-pekat, dan sedikit pahit. Ini perpaduan rasa yang benar-benar hebat.              
            Di hutan ini banyak juga buah-buahan. Salah satunya buah arbery (kalau tidak salah). Bentuknya putih kecil, dan rasanya lumayan membuat mulut aku dan kelompok penempatanku banyak mengucahnya. Seperti jambu air, lumayalanlah dibandingkan jantung pisang. Lalu, beberapa menit kemudian aku merasakan pusing dan sakit kepala. Rasanya berputar-putar. Aku pikir, hanya aku yang merasakannya. Ternyata kelima temanku lainnya juga merasakan hal yang sama. Jadilah kami fly berjamaah karena berlebihan memakan buah arbery tadi.
         "Ingat!, minimal kalian harus mengucah lima jenis makanan. Agar racunnya bisa saling menetralisir," ucap kak Ace saat menerangkan jenis makanan apa saja yang bisa dimakan di hutan ini.
           Sementara kami hanya memakan tidak lebih dari tiga. Wajarlah fly berjamaah.
                             ****
           Pagi buta, setelah kemarin sore kami diminta untuk mendirikan bivak sendiri-sendiri dengan ponco, kami dibangunkan. Membongkar tenda adalah instruksi di pagi buta yang cukup dingin. Lalu berkumpul dengan lokasi bivak sudah bersih, dan bagiku tentunya telah menunaikan sholat shubuh.
           Kami berkumpul di bivak materi, kelas kami menyebutnya. Panitia memberi kami teh hangat dan sepotong talas. Daan wajah-wajah kami berseri, menemukan makanan mewah yang sebelumnya di barak, adalah makanan sederhana kami. Kami berubah menjadi manusia yang paling bersyukur pagi itu, sebab rasa jantung pisang ditindih dengan rasa talaa dan teh manis hangat  tanpa bau asap. Hehehe
           Pagi ini kami hanya harus mengikuti upacara penutupan dan turun gunung. Kami berbaris, lalu berjalan satu-satu dengan beban tas yang sesikit berkurang, karena logistik telah habis. Di satu tempat yang datar, telah berdiri gagah para tim training, fasil-fasil kami, ketua yayasan : pak hikmat, dan para wanadri. Salah satu dari Wanadri, memegang kayu dengan Bendera Merah putih dikobarkan.  Kami berbaris tanpa aba-aba. Aku pikir, hanya upacara penutupan biasa, ternyata dirangkaikan dengan pelantikan 42 calon pengajar muda menjadi Pengajar Muda.
            Satu-satu dari kami berjalan menuju bendera. Hingga tibalah giliranku. Aku berjalan bangga bercampur haru. Kuletakan ujung bendera yang kupegang dengan tangan kananku, dan kuletakan di dada kiriku, lalu kalimat pendek yang cukup menggetarkan yang telah diucapkan dengan gagah dan lantang oleh orang-orang sebelumku, aku katakan. "Saya Ikerniaty A. T. Sandili, Siap mengabdi untuk Indonesiaku. Indonesia...! Indonesia...! Indonesia....!". Lalu aku mencium lama merah putih itu. Kubiarkan kata Indonesia itu sampai pada lubuk hatiku yang paling dalam. Biat pengabdianku, Lillahi Ta'ala. Biar pengabdian ini menjadi bagian dari dakwah.  Di sebelah kiri berhadapan denganku pak Hikmat, dan kakak-kakak yang mengenakan rompi siap menyematkan pin lambang Indonesia mengajar, juga menyuguhkan senyum bangga mereka. Aku menjabat tangan mereka, tetap dengan tidak bersentuhan tangan. Karena kondisi yang sakral ini harus berjabat tangan langsung, aku langsung mengenakan kaos tangan.                 
           Salam-salam itu berakhir. Aku dan 41 pengajar muda berdiri penuh haru dan menyanyikan lagu Bagimu Negeri. Ada yang mulai terisak sejak awal pelantikan. Juga aku yang berusaha menahan tangis. Ketika suara kami menyatu dengan alam, mengumandangkan, padamu negeri.... Dua orang membentangkan Merah Putih Raksasa di atas kepala kami yang menutupi seluruh kami. Tubuhku bergetar, saat menyadari di atas kepalaku adalah Merah Putih yang pelan-pelan menutupi kepala kami. Sebuah keberanian disusul kesucian. Air mataku bercucuran. Juga hampir semua Pengajar Muda angkatan XIV di bawah Merah Putih, dan iringan lagu Padamu Negeri.
           "INDONESIAKU, aku siap Mengabdi!!".

Purwakarta, 26 Mei 2017

Annisa Mau'izhoh
(Pengajar Muda XIV, Musi Rawas)

*)Nama Pena dari Ikerniaty A.T. Sandili

Komentar