Catatan29

Catatan 29 : Tentang R


Semangat pagi.
Kupermulakan kalam dengan dan atas nama kasih Tuhanku. Semoga kalian selalu dalam lindungan Allah Subhanawata’ala.
Catatan ini tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja ada rindu yang harus terurai melalui tulisan ini. Ada jujur yang harus terucap. Ada sebongkah kenangan bernama R yang mesti terjelaskan di antara kita. Aku barangkali. Biar aku tak memilin R dalam kurung terkurung seorang diri setelah memilih pergi saat pertemuan kita yang berakhir dengan keputusanku yang sepihak.
Aku tahu, catatan ini barangkali enggan kalian baca. Telah kalian buang, atau telah kalian bakar tanpa aku ketahui diam-diam. Aku tak tahu memang. Sebab aku hanya tahu tentang rindu yang diam-diam, dalam-dalam pada R. Aku tahu kalian tahu. Kita tahu.
Maka biarlah catatan ini mengurai satu demi satu R itu. R U B A L A N G.
Kita menyemat-nyematkan sebutir huruf R pada tiap-tiap nama kita. Beberapa dari kita memang memiliki nama berawalan huruf yang sama, R : Rukmana, Retno. Tapi ada juga yang sok-sok an membubuhi namanya dengan R. Moh. Tofan SaputeRa, dan IkerRniaty. menyama-nyamakan. Jadilah kita sama yang tersamarkan. Bahkan ada yang sama sekali sok menyamakan : Mahfudz, dipanggil Randy.
Tapi yang tersamarkan itu, ada sebongkah kenangan dimana masa membawa kita pada perjuangan. Aku ingat bagaimana tingkah-tingkah kita yang selalu mendapat senyum, meski kadang senyum itu tak lagi tulus. Tetapi senyum bercampur sedikit kejengkelan berbau kelucuan.
Kalian mulai bosan membaca ini. Ah, aku memang tak pandai merangkai kata. Tapi ini bukan kata. Ini kejujuran. Sejujur-jujurnya. Aku ingat saat bertemu lelaki jangkung lagi kurus di depan dekanat pertanian. Kami berbicara serius. Seperti biasa ia membius seribu kataku yang ogah-ogahan dengan satu penjelasan panjang mengenai jenis lemon yang aku lupa namanya.
“Untuk apa juga mahasiswa Peternakan ini bicara soal lemon?,” batinku saban waktu itu.
Tapi berbincangan itu mengantarku untuk manggut-manggut. Dan akhirnya bergabung bersama timnya untuk sebuah R yang sama sekali tidak aku tahu untuk apa. Lalu di waktu-waktu selanjutnya, si Miss ‘sudah-sudah’ bergabung membentuk sebuah bintang dengan tiga sisi. Belum sempurna memang, sebab bintang itu 5 sisi.
***
Pertemuan memang sesungguhnya membuat hati cemburu. Sebab ada segelintik kisah yang tak akan habis untuk dilontarkan dengan syahdu maupun sendu. Apalagi hanya dengan secangkir kopi hitam yang telah habis kuseduh dan meninggalkan ampas, berteman dengan tart mini sebagai hadiah hari lahir pagi ini (terima kasih yang telah membawakan kue).
Biar kuurai kembali kisah pertemuan kita. Sebab ia pantas untuk dikenang. Bersabarlah, sebab keyboard laptopku ini akan menyebut nama kalian satu persatu.
Saban waktu itu, ketika akhirnya aku berhasil meyakinkan sepasang suami istri paruh baya untuk mengizinkan putri bungsunya ini berlayar demi keinginannya. Layar terkembang, aku di dalam kapal yang mengantarku menuju kota ini. Kota yang ditumbuhi banyak kaktus dan terkenal memiliki lebih dari satu matahari.
Ada bahagia menyelinap diam-diam. Bahagia yang mengantar senyumku mengembang. Kota ini meski bukan kota impian, tapi telah mengantarkan impianku menjadi nyata. Kota ini menemaniku mewujudkan mimpiku satu persatu. Alhasil, kota ini menajdikanku menajdi pemimpi besar hingga usia 22 tahun.
Aku menghela napas panjang. Membiarkan mataku menatap sekeliling tempat tinggalku, Sebuah Rusunawa (Rumah Susun Mahasiswa) yang berada di kawasan Perumahan Dosen Untad. Bangunan megah tetapi telah senja karena tak selalu terurus ini, kita diam-diam saling mengenal nama. Kecuali aku dan Tofan, karena kami memang berada di lantai atas gedung biru ini yang kini semakin tak terawat.
Tofan, lelaki paling jangkung di antara kita. Juga bintang tertua diantara kita. Tak ayal jika ia menjelma menjadi sosok kakak yang selalu mengalah meski tendensiusnya pada sebuah program tertahan. Ia orang pertama penghuni Rusunawa yang setia membaca tulisan-tulisanku yang masih sangat jauh dari standar ontologi tulisan anak-anak eF eL Peh. Tak heran jika pernah suatu waktu aku tak semangat lagi, ia memberi motivasi dengan menyinggung isi tulisanku itu. Tulisan perjuangan bagaimana menaklukan mitos-mitos keluarga tentang anak gadis yang merantau demi menuntut ilmu. Kadang juga ia bertamu di kamarku, meski hanya untuk minum segelas atau lebih air putih, dan membawakanku sebungkus Q-tela (tetapi ia juga membantu menghabiskannya), lalu bercerita panjang lebar di pinggir jendela.
Sesekali juga aku bertamu di kamarnya bersama kawan-kawan lain hanya untuk mendengarkan ia memberi banyak penjelasan tentang produk-produk jualannya. Atau sekedar mengacak-ngacak kamar seorang bujang seperti dia.
***
Suara Chris Botti dan Paula Cole kembali mengantarku untuk melanjutkan kisah kita. Kisah para bintang laut, yang dengan gagah menyematkan diri untuk tiada henti menebar cahaya. Tofan, karena paling sulung, kita memanggilnya dengan embel-embel tiga huruf di depannya K A K. Kak Tofan.
Sedangkan perawan berkaca mata yang juga mendiami Rusunawa waktu itu, tak lain adalah Rukmana. Beberapa bulan terakhir ini aku memanggilnya Miss. Kadang juga memanggilnya Nona. Aku sengaja. Biar ada yang membedakan di antara kita. Bisa jadi itu panggilan sayangku padamu, Miss. Panggilan yang akhirnya kau sematkan padaku juga. Meski tak jarang aku membuatmu merajuk tanpa sadar.
Di gedung biru bertingkat itu, aku memang pernah mendengar namamu. Berulang kali tanpa tahu siapa pemilik nama ‘Rukmana’. Maklum, jangkauan pergaulanku lebih banyak di lantai empat apalagi lantai dasar, di mana berkumpul para tetua asrama. Sementara dari penuturanmu saban waktu ketika kita --kau, aku dan, dan Si cekatan—bercerita, kau mengenalku sebagai perempuan berjilbab yang selalu menenteng kamera ketika hendak kemana. Terselip kejengkelan padaku, karena aku nampak menjengkelkan (itu katamu).
Tetapi pada akhirnya, bumi kaktus ini mempertemukan kita dan membuat kita saling mengulang kisah kita. Kisah yang mengundang rindu ketika lama tak terdengar. Karena itu kita mengulang-ngulang cerita kita. Tak peduli telah berapa banyak waktu terlewat hanya untuk kita berkisah yang sama. Padahal, banyak cerita yang perlu kita bagi. Hanya saja, entah mengapa kita mengulang-ngulangnya berulang kali.
Kita seperti perpaduan unik yang hampir sama. Begitu orang-orang melihat kita. Kita sama dengan kaca mata yang jarang terlihat tanpanya. Beberapa rekan-rekan kita selalu mengira kita adalah anak manusia yang terlahir dari Rahim yang sama sekaligus. Pada kenyataannya kita adalah saudara lain bapak dan ibu. Tak ada aliran darah yang  sama yang memenuhi tulang dan sendi kita. Kau sering merajuk dengan kata ‘sudah-sudah’mu itu, dan aku yang selalu cuek dengan merajuk bentuk apapun.
Tapi aku pernah bahagia, ketika berhasil membujukmu tempo hari ketika kau ingin mudik sementara kita sedang berurusan dengan kegiatan. Kau akhirnya lumpuh dengan sederet kalimat panjangku ketika kita berkumpul di teras samping kediamanmu. Juga ketika akhirnya kau menitikkan air bening yang orang-orang menyebutnya air mata saat aku, kau dan, Reret bersama, masih di teras samping kediamanmu.
Sesungguhnya kala itu, aku ingin menangis pula saat memelukmu. Bagaimana tidak, sebab aku tak pernah membayangkan kita akan renggang hanya karena fitnah padaku yang menyeret namamu di dalamnya. Aku menyayangimu. Sungguh. Tidak hanya melalui tulisan ini. Kau telah pernah sering menangis, hampir menangis, dan merajuk padaku (sampai-sampai diblock akun FBku). Apalagi jika bukan cinta?. Terima kasih karena itu. Pun diriku. Hanya saja, barangkali aku begini. Susah untuk menangis meski hanya satu tetesan saja. Apalagi di depan seseorang, selain aku sendiri. Tapi aku pernah menangis seseunggukan untuk pertama dan terakhir kali di depanmu. Dalam pelukanmu.
Tapi, jujur, aku bahagia bersamamu. Kita pernah mengukir pelangi bersama. Kita pernah menjadi sepasang sahabat yang dicemburui orang banyak. Kita pernah menjadi sebaik-baik tim yang berkolaborasi di medan juang. Sayangnya, tak banyak kata rindu yang bisa kita ucap. Aku terlalu naïf, dan kau terlalu pemalu untuk menulis kata romantis tentang kita. Barangkali kau terbiasa menulis non fiksi dengan bahasa-bahasa ilmiah dan keluar sebagai pemenang. Tapi bukankah, rindu bisa berpadu dengan kata-kata ilmiah?. Bukankah kita seperti nyala logam alkali dan alkali tanah?. Berbeda, tetapi akan lebih indah jika digabung menjadi satu. Persaudaraan kita pun bagai suatu unsur senyawa kimia. Aku tak perlu menjelaskan unsur senyawa kimia. Kau lebih pandai, sebagai sarjana sains bidang kimia. Tetapi sayangnya, kau tak sepandai aku menyembunyikan rindu. Nampak dari matamu ketika kita berjumpa setelah aku sedikit pulih dari sakit. Lain kali belajarlah dariku, hehehe.
***
Sembari membenarkan posisi kaca mataku, biar kumulai kisah yang tak banyak dengan seseorang lagi. Reret, si cekatan yang berdarah sunda. Bersamanya, aku barangkali yang paling bahagia. Sebab, keahliannya memasak, membuatku semakin termanja. Aku yang paling bahagia berada diantara Rukmana dan dia. Sebab suka dan rajin memasak membuatku menjadi mencicip yang setia, hehehe.
Setelah undangan makan dan perpisahan lisanku tentang R, kita memang jarang berjumpa. Aku yakin, seyakin aku pada diriku sendiri, bahwa ada sejumput kekecewaan padaku. Berawal dari semangkuk mie ayam (kalau bukan mie ayam, yah bakso), ia tak lagi menghabiskan makanannya ketika kalimat resign dari R itu aku utarakan. Ia mengaduk-aduk menu dalam mangkok dengan wajah bersungut-sungut. Maafkan aku.
Tetapi harus aku akui, dialah yang paling sering berinteraksi denganku dibanding para bintang yang lain. Diam-diam ia menaruh cemas padaku yang penikmat kopi dan malas makan ini. Apalagi ketika tahu lambungku tak mau berkompromi lagi, dan alhasil terbaringlah tak berdaya aku di kos yang kunamakan Menara Hijrah (Menhij).
Kalau tak mau ditemui, minimal kasih kabar,”  katanya.
Aku tersenyum membaca pesannya. Terbayang kekhawatiran padaku ini di wajahnya. Oh maafkan aku adikku. Memang aku paling cuek dari semuanya. Pada diriku sendiri saja aku tak peduli apalagi pada orang lain?. Bersyukur, ada mereka yang mengingatkan sampai pada taraf mengkhawatirkan.
“Cie, yang khawatir,” candaku.
“Siapa yang khawatir?,” kilahnya.
Aku terkekeh di kamar kosku sambil menahan tawa. Kembali terbayang wajahnya yang penuh kecemasan. Ia pelanjut estafet untuk program-program R khusus bagian acara yang biasa aku selesaikan. Hadirnya mempercepat waktu sebab ia bergerak cukup cepat, berlomba dengan jarum jam. Ia yang paling sering mengiyakan permintaanku, meski dalam kondisi kurang fit atau sedang sibuk-sibuknya. Sampai akhirnya ia berkabar sedang menuju Kalimantan. Sebab harus mengunjungi orang tuanya, karena ibundanya sedang sakit.
Mendengar kabar itu, tubuhku melemas. Ada kekhawatiran yang sangat menjalar pada tubuhku. Sebab trauma pada kabar mendadak dan permintaan untuk pulang segera karena orang tua sedang dalam keadaan sakit. Aku tak ingin kepulangannya berujung seperti kisahku.
Berhari-hari kekhawatiran itu mengganggu pikirku. Kecuali setelah ada kabar kondisi ibundanya telah sedikit pulih, barulah lega mendiami hatiku lagi.
***
Ku tengok isi gelas kopiku. Habis, kecuali ampasnya. Kulanjutkan lagi mencatat kerinduan tentang kita. Bintang yang terakhir adalah Mahfudz. Si bungsu yang manja, sangat manja pada ibunya, lalu menjalar pada kita. Barangkali karena kita tidak sekedar tim dalam komunitas, tetapi keluarga yang saling memahami. Komunitas kita bagaikan rumah, dimana kita tak mesti harus berpura-pura untuk tidak menjadi diri sendiri. Ada Mahfudz yang manja, ada Rukmana yang merajuk, ada aku yang cuek, ada Reret yang cekatan dan suka masak, dan ada kak Tofan yang seperti bapak bagi kita, hehehe.
Tetapi di luar sana kita menyesuaikan. Seperti bagaimana si bungsu ini menjadi ketua salah satu Lembaga di FKIP. Bagaimana ia memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin, dan bagaimana jika menjadi adik dari kita. Ia yang kadang membuatku cemburu sebagai seorang kakak. Sebab, di sebuah lembaga pers tempat aku dan dia menjadi kuli tinta, ia lebih mendengar arahan rekan lain ketimbang aku. Yah, kecemburuan yang normal bagiku. Sebab, kita di R lebih saling mengetahui daripada di luar sana bersama dengan orang lain.
Pemilik nama panggilan Randy, lakunya kadang mengundang kejengkelan. Sebab kekonyoln yang ia buat juga pemikirannya yang kadang irrasional. Sesekali ia mencontoh gaya berpakaian kak Tofan dengn celana kain yang terlipat di atas mata kaki. Katanya biar seperti anak-anak LDK UPIM atau seperti “ikhwan-ikhwan’.
Ia paling sering memberi perhatian soal makan. Sesekali menelpon bintang laut satu perstu sekedar untuk menanyakan keberadaan dan sudah makan atau belum. Ah ya, kadang ia menjadi si kecil yang sok dewasa.
***
Suhu ruangan kantor redaksi Media Tadulako menjadi sangat dingin, lantaran cuaca di luar kaca ruangan ini mendung. Sejak basah-basahan kemarin, tubuhku masih belum stabil. Suhu badanku berbanding terbalik dengan suhu ruangan ini. Hangat, sedang wajahku nampak pucat sejak demam tinggi semalam. Hingga tulisan ini kubuat, tak ada ucapan Yaumul Milad salah satu dari mereka yang kuurai kerinduan pada nama mereka. Tak apa. Aku memang tak berharap ada ucapan dari siapapun. Apalagi ada semacam hadiah. Cukup kesyukuranku adalah hadiah yang harus tetap aku jaga.
Cukup kehadiran para bintang laut seperti mereka dalam bait R ; rindu, Rubalang, mengejewantah dalam semangat merawat semangat. Sebab, kehadiran mereka dalam sepenggal perjalanan hidupku adalah kebanggaan. Kelak, huruf-hurufku akan mengabadikan tentang kita. Tentang seluruh perhatian kalian, tentang kecemasan kalian, tentang peduli kalian, dan tentang kekeluargaan yang kalian sematkan, pada hidup seorang gadis sepertiku.
Kuhaturkan terima kasih untuk kehadiran kalian. Untuk kesediaan membantuku dan waktu kalian atasku. Maka, izinkan aku belajar dari sabarmu kak Tofan. Izinkan aku belajar dari pedulimu Miss Rukmana. Izinkan aku belajar dari cemasmu Dik Reret, dan izinkan aku belajar dari perhatianmu Dik Mahfud.
Salam jumpa. Semangat pagi.

                                                                                          Palu, 29 Desember 2016
                                                                                                  Salam Rindu,



                                                                                                  Ikerniaty Sandili

Komentar