“Dan ketika kesedihanku menghitam,
maka tangisanku adalah tempat satu-satunya
hatiku berpulang, maka biarkan aku berteriak dalam diam”
Kalimat itu lengkap dengan gambarnya
membuatku berpikir keras. Kembali hatiku berusaha berkompromi dengan akalku. Padahal
aku yang mengkampanyekan pada beberapa rekanku juga my best brother tentang kalimat “masalah akal dan hati tak bisa
dikompromikan. Mereka adalah dua ranah yang berbeda. Masalah hati harus
diselesaikan dengan hati, tak bisa dengan akal, begitupun sebaliknya.” Tapi lagi-lagi
itu teori. Teori yang harus aku ingkari malam ini. Teori yang membuatku kembali
menyeduh kopi bintang dalam gelas kaca, sembari mengacak-ngacak jilbabku dalam
ruangan berukuran 2 kali 1 yang sempit dan dipenuhi dengan buku,
cacatan-cacatan dinding, hingga kabel listrik yang saling tumpang tindi.
Teori yang membuatku akhirnya menerima. Yah
menerima, jika laki-laki itu demikian. Selalu mencari ketenangan dalam diamnya.
Selalu berkompromi dengan diamnya. Selalu tersenyum dalam diamnya, selalu
memilih untuk diam. Sedang aku?, gadis yang menurutnya selalu ngotot, yang
mengekspresikan segala bentuk kerinduan, segala apa yang aku inginkan tidak
dengan diam. Aku, gadis yang mencari ketenangan dalam kesibukan. Aku gadis yang
menghilangkan kesedihan dalam cerita ngalor ngidulku. Aku, gadis yang menghilangkan
tangisanku dengan kopi hitam dalam gelas kaca. Aku gadis yang memilih diam
ketika malam memang telah malam.
Aku sadari itu, sadar bahwa dia lelaki
yang diamnya adalah tempatnya berteriak. Sementara aku gadis yang menangis
dalam tawa. Perbedaan ini yang membuatku gagal paham untuk beberapa saat. Aku
gagal memahaminya sebagai laki-laki yang demen
diam. Aku gagal memahami jika ia laki-laki yang kesedihannya menghitam. Meski ia
berkata itu hanya sekedar status pada akhirnya.
Yah, laki-laki yang berani mengatakan
rindu padaku. Semoga saja ia tak mengatakan distatusnya kemudian, “hanya status”
atas kata rindu yang ia unggah di akun facebooknya
bersamaan dengan foto kami berdua.
Dia laki-laki kebanggaanku. Laki-laki
yang tangisan adalah tempatnya berpulang. Dia kebanggaanku, kakakku. Meski ia
tidak seperti mas Gagah kebanggaan Gita, hehehe. Ia menjadi sosok kakak yang
luar biasa. Ia mengajarkan perjuangan dan cita-cita padaku lewat cacatan
hidupnya yang gelap, lewat luka yang pernah ia rasakan. Luka yang teramat
perih, ketika ayahnya akhirnya berkata kasar padanya beberapa tahun lalu. Luka yang
membuatnya tak punya pegangan hidup, hingga menjadi kakak kebanggaanku
sekarang.
Tapi kebanggaanku tidak hanya sekarang. Jauh
sebelum aku mengenal dunia sekolah, jauh sebelum aku menjadi gadis ambisius,
jauh sebelum aku mengenal gadget,
jauh sebelum aku tahu bahwa jalan itu ramai, jauh sebelum aku akhirnya menjadi
aktivis dakwah kata mereka, jauh sebelum aku menonton film “Ketika Mas Gagah
Pergi”, jauh sebelum aku mencintai malam dan rindu bersarang dalam hatiku, dan
jauh sebelum aku menjadikan kopi teman setiaku yang hangat, aku telah bangga
padanya. Bangga pada kakak laki-lakiku satu-satunya itu.
Meski pernah sebelumnya aku ingin dia
seperti pemilik namanya, “Ikhwan”. Bersikap layaknya Ikhwan-ikhwan yang aku
kenal di kota ini. Kota yang hampir menamatkan cerita pendidikanku, tak lama
lagi. Pernah aku ingin ia berpenampilan seperti namanya yang indah, tidak
seperti namaku yang sering diledek dari nama penjaga gawang Real Madrid,
dicandai dengan panggilan mas, hingga panggilan ustadz. Pernah aku benar-benar
merindukannya seperti anganku, yang sesungguhnya menggambarkan bahwa aku tidak
sedang rindu pada kakakku yang sebenarnya.
Tapi itu dulu. Sebelum akhirnya aku
rindu pada sosoknya yang sesungguhnya. Sosok yang lebih tampan dari mas Gagah. Sosok
yang menjadi panutan bagiku, kakak perempuanku dan adik laki-lakiku. Sosok yang memimpin kami
mengucap taawuz dan basmala sebelum membaca Al-Qur’an lepas sholat Maghrib. Sosok
yang melindungiku ketika aku terlihat berbicara dengan lawan jenis, bahkan
kawan-kawan sekolahnya juga turut menjagaku. Aku ingat, meski mungkin dia lupa.
Dia kakak kebanggaanku, juga kebanggaan
papa, yang terucap saat ia percaya diri menjadi imam sholat ketika kegiatan
Pramuka dengan bacaan Al-Qur’an yang fasih dan menjadi buah bibir hingga
kegiatan pramuka usai. Bangga saat ia menjadi pembicaraan orang karena prestasi
akademiknya yang berhasil menyabet posisi nomor satu berulang kali. Kebanggaanku,
kebanggaan papa, dan kesayangan mama. Dia kakakku yang membuatku cemburu. Sebab
mama selalu bercerita tentangnya ketika aku menelpon atau mama menelpon. Dia laki-laki
yang aku buntuti belakangnya, ikut ia masuk hutan menangkap burung, bersamanya
memasang perangkap untuk kepiting dan udang di sungai-sungai kecil tak jauh
dari rumah.
Dia kakakku yang membuat emosiku
menyulut dulu ketika ia bertingkah tak lagi seperti biasa. Dia pula laki-laki
yang membuatku tersipu saat mama bercerita, ia menggendongku karena ketakutanku
pada semut hitam yang membuatku menjinjingkan kakiku dan akhirnya tak mau
berjalan. Ia menggendongku,padahal tangannya memegan jerigen berisi air dan
menapak jalan yang sedikit bergunung. Lalu akhirnya kami terjatuh, bergumul
dengan tanah dan daun cengkeh kering, terguling hingga bagian bawah tanah yang
permukaannya rata. Dia mungkin lupa, tapi tidak denganku. Karena ceritaku lebih
banyak terjadi bersamanya, tidak dengan kakak perempuanku. Bahkan kami
berlarian saling mengejar dengan kucing kesayangannya.
Dia laki-laki yang lebih keren dari mas
Gagah. Dia laki-laki yang geram saat tahu kakak perempuanku disakiti laki-laki.
Dia laki-laki yang menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam untuk
keluarga kami dalam rangka membantu mama di rumah. Sedang aku hanya mendapat
tugas kecil, menyapu lantai rumah dari papan, dan kakak perempuanku mendapat
bagian mencuci piring. Selebihnya ia yang kerjakan. Dia kakak kebanggaanku, aku
menghadiri pernikahannya meski mama melarang dan seluruh orang rumah tak ada
yang datang. Aku ingin melihat kakakku. Kakak kebanggaanku.
Dia laki-laki yang memilih berteriak
dalam diamnya. Dia laki-laki kebanggaanku, bagaimanapun dia. Buruk atau baikkah
dia, dia kakakku. Dia kakakku, yang aku tak ingin ia menjadi siapapun, selain
dirinya, selain menjadi kakakku. Maka maaf jika aku kadang menjengkelkanmu,
maaf jika aku tak mengerti diammu, maaf jika aku banyak menuntut padamu, maaf,
dan maaf.
Apapun
itu, bagaimanapun aku saat ini, kau laki-laki kebanggaanku. Kau ajarkan arti
diam padaku. Kau ajarkan kuat menghadapi kehidupan yang beringas ini padaku.
Kau ajarkan ketulusan padaku, kau ajarkan menerima semua yang terjadi. Dan aku
yakin, kau laki-laki kebanggannku yang akan mewujudkan mimpiku. Mimpi adik
perempuanmu ini, yang penuh ambisi. Aku yakin, kau laki-laki kebanggaanku yang
akan mengajarkanku inilah kisah keluarga kita. Aku yakin, seyakin-yakinnya. Kau
laki-laki kebanggaanku yang akan membuat kisah keluarga kita paling tersohor
dari kisah manapun yang menggugah. Dan aku yakin, kau laki-laki penuh cinta
pada keluarga kita. Aku yakin itu. Aku yakin suatu saat kita akan berkumpul
utuh, tak terpisah lagi. Sebagaimana hati kita telah saling merindu.
Salam maaf,
Adik Perempuanmu
Komentar
Posting Komentar