Part #1-Aku merindumu, rindu
berkepanjangan. Rindu saat aku merengek ingin ikut denganmu yang ingin
menangkap burung di hutan. Atau menangkap ikan, menjebak udang dan kepiting
dalam perangkap. Aku merindumu, rindu berperahu bersama, rindu menceburkan diri
ke laut sambil melompat dari batang pohon kelapa di siang bolong. Aku merindumu.
Adakah kau ingat?. Atau mungkin aku yang
selalu mengingatnya, dan kenyataannya kau telah lupa. aku juga rindu saat kita
sholat berjamaah, mengaji usai shalat. Aku rindu kita bercengkrama seperti
dulu. Saat aku masih merangkak dan kau ada di sampingku.
Part #2-Aku juga rindu, saat kau harus
mengomel karena tak aku selesaikan tugasku mencuci piring, sedang kau memasak
air menggunakan tempurung kelapa, lalu memasakkan kami makan malam. Aku rindu
saat kita tidur bersama dan kau telah memaafkan aku yang selalu saja mencari
cara untuk tidak mengerjakan tugas dapur, dan memilih ikut bersamanya ke hutan
barangkali.
Aku rindu saat kita dimarahi karena
bertengkar, adu mulut, hingga adu otot. Aku rindu saat kita berjalan bersama
menuju sekolah. Aku rindu saat kita berbagi uang 1000 rupiah untuk uang jajan di sekolah. Aku rindu
saat mendengarmu akhirnya menikah dengan pacarmu yang sering kau telpon dan dia
menelponmu saat aku masih SMA. Juga rindu, saat ponakan pertamaku darimu lahir.
Aku rindu atas apa yang pernah kita alami dan lewati.
Rindu #3-Tak kalah rindu denganmu, si
bungsu yang selalu membantah. Rindu dengan gayamu yang emosional. Rindu saat
aku harus ditugaskan mama untuk mencuci seragam sekolahmu yang penuh dengan
lumpur. Rindu saat aku perintahkan untuk belajar dan kau ogah-ogahan. Sekarang
kau telah menjadi pelajar SMA. Sebentar lagi akan masuk perguruan tinggi. Itu
artinya aku harus extra kerja keras menghadapi emosimu itu yang sama seperti
dulu. masih tak mau belajar.
Aku rindu kita ber-4 berkumpul.
Menghabiskan masakan mama yang tak ada tandingnya. Menyeruput habis kuah bening
buatannya. Atau menemani papa memanen cengkeh yang hanya seberapa. Menjadi
kebanggaan papa pada keluarganya.
Banyak yang kita lewati yang telah
terlewati. Kita biarkan begitu saja. Kita hidup dengan masing-masing pendapat
kita. Kita tak peduli perasaan mama, hati papa. Kita sekarang sudah besar. Papa
yang mulai tak stabil kesehatannya, dan kita yang masih terpencar. Bolehlah
jika hanya jarak yang membuat kita berpisah. Tetapi hati kita tidak. Hanya
saja, aku berharap kita berkumpul bersama. Menunggu masakan mama matang dan
kita menyantapnya bersama. Atau ingatkah kau ketika kita turut serta bersama
papa yang bekerja sebagai tukang kebun di keraton?. Kita tak membantu,
melainkan hanya merepotkannya. Kita merepotkannya dengan membuat ia mengayuh
sepeda sekuat tenaga untuk membonceng kita.
Aku pikir kita tak akan lupa dengan
perjuangan papa, yang mengetuk satu persatu pintu rumah kerabatnya. Menawarkan
tenaganya agar diberi upah di awal untuk membayar SPP sekolah kita.
Baiklah, mungkin kita masing-masing
punya luka, punya kekecewaan. Tapi sesekali duduklah dengan tenang. Pikirkan
kembali, apakah luka itu disebabkan oleh papa, mama, atau karena tingkah kita
yang telah membuat mereka murka dengan kita, lalu akhirnya mereka marah. Aku
bukan ingin mengungkit kembali, aku bukan menyalahkan siapa-siapa. Tapi aku
hanya ingin kita damai. Kita damai seperti dulu. Kita saling memaafkan.
Aku yang jauh, meski tak jauh-jauh amat
mungkin tak bisa langsung mengungkap rindu pada papa dan juga mama. Memang
bisa melalui handphone. Tetapi akan lebih ahsan jika kita berjumpa langsung.
Khusus padamu, yang tertua dari kami. Bolehkah wakili aku untuk minta maaf pada
papa dan mama?. Dan bolehkah aku meminta sesuatu padamu?. Setelah sekian lama
tak ada yang aku rengekkan lagi padamu. Pulanglah, agar nanti jika aku kembali
kita dapat berkumpul bersama. Mengulang cerita kita 10 tahun yang lalu, berbagi
tawa, dan juga berbagi maaf.
Maukah kau mengabulkan permintaanku?.
Anggaplah ini permintaan dariku sebagai hadiah ulang tahunku, yang menandakan
aku bukan lagi anak kecil, yang merengek minum kopi dari gelas kopi papa.
Palu, 29 Desember 2015
Ikerniaty A. T.
Sandili
Komentar
Posting Komentar