Gara-Gara PKM
Pagi itu, aroma khas parfum spray cologne menyeruak dari kerumunan
gadis-gadis di salah satu sudut kampus di Kota Yogyakarta. Mereka berkumpul,
saling melempar canda, dan menghibur
diri. Gadis-gadis yang di tangan mereka memegang sebundel map berisi file hard
PKM (Pekan Krativitas Mahasiswa).
Saya melewati kerumunan mereka, sembari
membungkukkan badan dan berucap “tabe”. Hari itu hari ke 10 magang saya di
kampus yang sama dengan gadis-gadis tadi yang seolah menghabiskan ½ dari
sebotol cairan parfum mereka. Wangi, teramat wangi. Sampai-samapi saya harus
menahan bersin sebab aroma parfum mereka menusuk hidung.
Saya memasuki studio Audi Visual,
berucap salam. Dan lagi. Aroma khas minyak wangi merek tertentu lebih dulu
menyambut kedatangan saya.
“Mba Rini cepat banget datang,” sapa
Maya, salah satu crew program siaran Kubah.
Saya melemparkan senyum terbaik saya
padanya yang lagi menyelesaikan make up di wajahnya.
“Kamu juga cepat datang. Sepertinya
setiap hari,” ucapku.
“Saya memang selalu datang pagi, mba.
Habis rumah saya agak jauh,” ucapnya lagi. Kali ini ia menutup proses make up
paginya dengan menyematkan lipstick pink di bibirnya.
“Ta’ tinggal dulu ya mba,” lanjutnya.
“Iya, mau kuliah ya?,” tanyaku.
“Nggak. Ini mau ngurusin PKM. Udah
Deadline,” jawabnya.
“OKe. Sukses ya untuk PKMnya.”
Maya berlalu. Di studio hanya ada saya
seorang dan 3 anak Prakerin (Praktek Kerja Industri) SMK Multimedia Yogyakarta.
Akhir-akhir ini studio memang sering sepi. Karena para crew sibuk menyelesaikan
file-file PKM mereka.
Musim PKM yang selalu menarik simpati
para mahasiswa di Universitas mana saja di Indonesia. Seperti kali ini, pagi
ini, di salah satu kota di Indonesia, Yogyakarta.
“Mba Rini, anak HIMMSIF juga?,” Tanya
Kimmy yang tak kalah stylenya dengan Maya. Atau dengan gadis-gadis di kota ini
pada umumnya.
Berpenampilan modis dengan celana jeans,
make up yang lengkap dari mascara hingga pewarna kuku, sampai soal
memadupadankan warna busana, model rambut, dan sepatu high.
“HIMMSIF?. Apa itu?,” tanyaku.
“Itu loh mba, yang pake jilbab gede, dan
sering di masjid.”
“Oh ya. Iya, kalau di kampus saya
namanya MPM. Mahasiswa Pecinta Mushollah,” jawabku.
“Jadi mba Rini sering nongkrong di
Masjid juga?.”
“Yah, nggak keseringan juga. Kan saya
masuk kuliah, dan beraktivitas lain.”
Kimmy kembali melanjutkan pertanyaannya.
“Nongkrong kok di masjid?, kenapa nggak
di tempat lain, taman barangkali.”
“Masjid itu menjadi pusat kegiatan
biasanya. Informasi lebih mudah didapatkan di masjid. Sama seperti studio.”
Kimmy masih geleng-geleng kepala.
Mungkin heran dengan kebiasaan para anak-anak mushollah. Diskusi kami terhenti
dengan otomatis. Sebab para gadis-gadis di studio ini mulai berdatangan dengan
wajah lelah.
“Eh, kamu udah baca pengumuman di group
PKM, Mel?,” tanya Vina.
“BelumVi, ada apa sih?,” Mely balik
bertanya.
“Deadline PKM tanggal 10. Berarti kita
harus lebih cepat ngurus semuanya. Ntar setelah makan siang, kita harus ke
tempat mitra. Minta tanda tangan, terus kita selesaiin file secepatnya, scan
dan….,” kata-kata Vina terputus.
“Dan aku sekarang lapar, cape, ngantuk,
dan nggak mood!,” Mely memotong.
“Lah, terus gimana dong?. Masa mba Rini
yang ngurus,” Kali ini Vina mencoba menghibur.
Wajah mereka sejak Maya, Kimmy, dan
sekarang tak adayang benar-benar senang. Ada yang murung, cape, dan berbagai
ekspresi dapat dilihat. Saya yang disebut nama saya, hanya tersenyum sembari
melanjutkan tugas saya. Mencoret-coret di kertas, menggambar model panggung
untuk program acara academiciana episode selanjutnya.
Sedang Mely dan Vina yang berdarah asli
Jawa kembali mengatur jadwal mereka dengan wajah bersungut-sungut.
“Mba, saya sholat Dhuhur dulu ya,”
ucapku.
Mereka mengiyakan dengan satu anggukan
kepala.
“Nggak ikut sholat dulu, mba?. Biar
pikirannya tenang dan jernih. Setelah itu baru mikir lagi,” ucapku.
“Hahahaha”, mereka tertawa lebar.
“Kamu tahu nggak mba, aku tuh nggak
pernah ke masjid selama di kampus ini,” ucap Mely.
“Lagi pula aku laper banget, mau makan,”
sambung Vina.
“Karena itu mba Mely. Sekali-kali ke masjid
yuuk,” lanjutku.
Mereka kembali menggeleng sambil
tertawa. Saya tinggalkan mereka dalam keadaan pusing dan bingung mengatur
waktu.
***
Pagi kembali menyapa dari sudut kota
Jogja yang setiap sudutnya dikatakan romantis. Entah darimana persepsi itu muncul.
Yang pasti kota Yogyakarta adalah saksi ribuan pemuda yang menjadi sarjana.
Mengenakan jilbab Hijau kesukaan saya,
saya menapaki tangga menuju studio. Rutinitas yang selalu menghantarkan saya
menyapa satpam kampus setiap pagi, juga memberi seulas senyum pada cleaning
service yang membersihkan balkon lantai II kampus,tempat saya menunggu
rekan-rekan lain bertandang ke studio.
Saya rapikan sendal seperjuangan saya.
Yang selalu menemani setiap langkah saya menjajaki kota Jogja. Di meja bundar
studio ruangan depan, tempat biasanya para dosen atau asisten dosen memberikan
materi pada mahasiswa, duduk Mely dan Vina dengan khusyu mengerjakan proposal
PKM mereka. Tim PKM lain juga nampak berkhidmat, Maya dan Dien. Sementara rekan
tim mereka yang lain mungkin sedang dalam perjalanan.
Suasana pagi itu tak seperti biasanya
dengan aroma parfum yang merebak dimana-mana. Mungkin mereka lupa memakai
minyak wangi karena sibuk menyelesaikan proposal PKM. Mungkin pula mereka lupa
untuk bercanda.
“Hallo mba. Lagi pada sibuk ngurus PKM
yah,” sapaku penuh basa-basi.
Lagi. Mereka mengangguk. Padahal, tak ada
crew di studio ini yang pendiam. Semuanya menjadi pelawak selevel Sule. Saya
pun mengikuti irama diam mereka. kembali mengerjakan tugas yang diamanahkan
pada saya. Sebagai tim creative program talkshow, saya berpikir keras mendesain ruang atau tempat yang sesuai
dengan tema. Tak terlalu susah sebenarnya, jika saja 1 lagi tim creative mampu
bekerja sama. Tapi saya maklumi, karena sibuk ngurus PKM, mungkin.
Adzan kembali berkumandang. Seperti
biasa, saya pamit untuk melaksanakan satu kewajiban dengan mengajak mereka,
para mba-mba dan mas-mas di studio untuk sama-sama melaksanakan kewajiban ini.
“Mba Iker kok rajin sholat?,” tanya
Kimmy. Crew paling muda juga paling banyak bertanya soal penampilan saya yang
seperti ibu-ibu pengajian.
“Ini kewajiban, Kim. Cara saya bersyukur
pada Allah. Yuuk, sholat Kim, Mba Mely, Mba Vina, Maul, Dien,dan semuanya,”
ajakku.
Mereka kembali tersenyum
“Kamu sholat duluan aja mba Rin. Jangan
lupa doain kami yah, biar lolos PKM. Kami mau nyari pak Afifi dulu. Minta tanda
tangan,” ucap Mely.
Saya beranjak meninggalkan mereka dengan
gelengan kepala menuju masjid Sarbini. Usai sholat dhuhur, saya berdiam diri
sebentar di masjid. Melepas rindu, atau mungkin karena sumpek dengan suasana
studio.
Sejurus kemudian mata saya terbelalak
melihat 5 orang mahasiswa yang sedang sholat berjamaah di belakang saya. Saya
kucek-kucek mata saya, memastikan yang saya lihat itu mereka, si Kimmy, Maya,
Vina, Mely, dan Yuvia. Gadis-gadis penikmat make up dan parfum yang setiap hari
menolak ajakan saya untuk sholat Dhuhur dengan berbagai alasan.
Ada perasaan bahagia bercampur
penasaran. Saking penasaran, saya menyingkap hijab di depan saya melihat jamaah
laki-laki. Hal yang sama saya lihat. Si Dien, Maul, dan 2 orang jamaah lain
yang saya lupa namanya, baru saja menyelesaikan sholat Dhuhurnya. Ah, saya
semakin penasaran. Bukankah mereka hari ini sangat disibukkan dengan PKM?.
Bahkan mungkin puncak kesibukan, meminta tanda tangan dan lain-lain, yang
mereka jadikan alasan untuk menolak ajakan sholat Dhuhur.
Setelah sholat, mereka berkumpul
membentuk lingkaran bersama seorang dosen yang ternyata adalah pak Afifi. Ketua
Prodi mereka untuk meminta tanda tangan pada lembar pengesahan PKM. Sambil
memakai sepatu di tangga masjid, mereka tertawa menggelitik.
“Baru, kali ini saya ke masjid, mba,”
ucap Maul.
“Apalagi saya?. Seumur-umur kayaknya,”
sambung Dien.
“Kalau aku pernah ke masjid sih. Tapi entah
berapa puluh tahun silam,” Vina menimpali.
“Ini gara-gara PKM. Kalau bukan karena
minta tanda tangan pak Afifi, gak bakal sepertinya saya ke masjid,” sambung
Mely.
“Eh, mba Rini mana ya?. Semoga nggak
lihat kita. Tadi kan kita nolak ajakan dia,” Kimmy menyahut.
Saya mengulum senyum. Tepatnya menahan
tawa di belakang mereka.
“Jadi gimana PKMnya?. Sudah selesai?,
kok pada disini?,” tanyaku pura-pura tak tahu.
“Ini mau diantar ke rektorat. Disini kami
minta tanda-tangan pak Afifi,” jawab Maya.
“Oh gitu, jadi kalo minta tanda tangan
pak Afifi di masjid ya?,” tanyaku lagi.
“Yah, karena buru-buru. Dan pak Afifi
itu dimasjid lama banget. Jadi kami kesini,” jawab Vina.
“Tadi pada sho…lat,” ucapku.
Mereka kompak menggaruk kepala dan
nyegir.
“Pak Afifi itu tempatnya selain di prodi
yah disini. Tadi kami disuruh sholat dulu baru dikasih tanda tangan,” ucap Mely
dengan wajahnya yang mulai memerah.
“Syukurlah, akhirnya kalian sholat juga
kan?. Meski gara-gara PKM. Harusnya begitu, biar sesibuk apapun, sholat tetap
harus dijalankan. Sebab kewajiban,” ucapku.
“Iya..iya.., ustadzah…”, ucap mereka
kompak disusul tawa dan kemudian berlalu.
Pak Afifi menghampiri saya.
“Dari mana Dek?, baru saya lihat
disini,” ucapnya.
Pak Afifi lupa, padahal sudah
diperkenalkan pak Panji saat hari pertama saya memulai magang.
“Oh, ya. Perkenalkan saya Iker pak.
Mahasiswa Universitas Tadulako, Palu-Sulawesi Tengah yang sedang magang disini.
Yang tempoh hari diperkenalkan pak panji,” jawabku.
“Oh ya. Inget-inget. Yah, beginilah
kondisi mahasiswa disini. Meski gak semua. Berhubung mereka butuh tanda tangan
saya, saya suruh sholat dulu. Habisnya kalo dipaksaian kan nggak bisa. Yah
siapa tahu mereka dapat hidayah dari situ. Dari ngurus PKM,” ucapnya sambil
terkekeh lantas pamit menuju prodi.
***
Komentar
Posting Komentar