Tak Ingin Pulang
Sudah beberapa hari ini mama sering
menelponku, tidak seperti biasanya. Mungkin ia merasa rindu padaku, putrinya
yang jarang sekali ia usap kepalanya. Ketika aku menggoda mama dengan
guyonanku,mama hanya menjawab,”tante-tantemu sudah sering menanyakan kamu”.
Seperti kali ini, ketika aku baru saja meletakan ranselku dan merebahkan
tubuhku di kursi panjang ruang tamu kos. Aku baru saja pulang dari mengerjakan
tugas Periklanan.
“Bagaimana keadaan mama, sehat?”,
tanyaku, mengawali percakapan kami.
“Sehat”, jawab mama dari seberang.
Aku tersenyum, sebab ku tahu mama sedang
sakit. Begitu pun papa. Sudah 2 minggu papa terbaring, sejak pernikahan Nana.
Dapat ku dengar suara mama bergetar.
“Nak, kamu pulang pada Ramadhan nanti,
kan?”, tanya mama memecah diamku.
“Insya Allah, Ma. Tapi Nisa belum bisa
pulang pada awal Ramadhan. Masih ada yang harus Nisa selesaikan”, jawabku.
“Mama rindu?”, lanjutku lagi. Kali ini
disusul tawaku.
“Siapa yang tidak rindu pada anaknya
sendiri. Orang lain pun rindu padamu, apalagi mama”, jawab mama.
Aku tersenyum. Ku alihkan pembicaraan
dengan menanyakan perihal pernikahan Nana. Sengaja, agar mama tidak bersedih
karena merindukan anak-anaknya, tepatnya merindukan kak Iwan. Tapi pertanyaanku
justru membuka luka di hati mama. Tak ku dengar lagi suara mama karena iringan
tangisnya yang pecah di sela-sela perkataannya. Aku tak memotong atau
mengalihkan pembicaraan seperti biasanya ketika mama sedang bersedih.
“Cukup dorang (baca : iwan & Nana)
yang buat mama deng papa kecewa. Cukup dorang[1]
saja. Jangan di tambah lagi dengan ngana[2]”,
ucap mama sambil menangis.
Aku teringat cerita mama pada bulan Mei
kemarin. Saat itu aku sedang mengikuti tarbiyah di musholah Al-Jihad FISIP
Universitas Tadulako. Handphoneku bergetar, ku lirik dengan ekor mataku.
Sejurus kemudian aku memohon izin pada Murabbiku untuk mengangkat panggilan
dari sepupuku. Awalnya aku abaikan, tetapi karena ia menelpon sudah lebih dari
5 kali, akhirnya kau memberanikan diri memohon izin. Meski aku bisa saja
langsung mengangkatnya tanpa meminta persetujuan murabbiku.
“Halo, Nis. Seyu[3]
mau bicara”, ucap sepupuku tanpa menunggu aku menjawab ya.
“Assalamu’alaikum, Ma. Mama se…”
Kata-kataku terpotong oleh tangis mama
yang meledak.
“Kamu ada dimana ini?”, tanya mama
dengan dialeg Banggai.
“Kampus”, jawabku pendek. “Mama kenapa?.
Ada apa?”, tanyaku.
Aku tak mampu menerka apa yang terjadi
di seberang sana. Sebab, kemarin aku baru saja berbincang dengan Nana, dan
semua baik-baik saja.
“Kamu jangan kaget ya. Nana mo kawin”,
jawab mama. Lagi, dengan tangisnya.
Aku tersenyum, Nana mau menikah, itu
artinya bagus. Tapi kenapa mama menangis?. Tak sempat aku tanyakan alasan mama
menangis, karena mama sudah kembali melanjutkan kata-katanya.
“Nana so mo kawin dengan Heri, tanpa
meminta persetujuan kami. 3 hari yang lalu, Heri dan orang tuanya datang ke
rumah. Papa hanya menunduk, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun”.
Mama benar-benar tak mampu melanjutkan
kata-katanya lagi. Aku pun telah tahu apa yang terjadi, tanpa mama menceritakan
dengan detail. Heri dan Nana pacaran sudah beberapa tahun. sejak awal mereka
dekat, mama dan papa tidak merestui mereka. Jangankan orang tuaku, keluargaku
pun demikian. Sebab perangai heri, boleh ku katakan cacat. Tidak hanya keluarga
kami yang mengetahui cacat perilaku Heri dan keluarganya, tetangga, bahkan
beberapa Desa yang pernah menjadi tempat tinggal mereka telah paham betul
bagaimana sikap dan sifat mereka. Terlebih status Heri yang pernah menikah dan
kemudian menceraikan Istrinya. Aku bahkan menjadi pendengar cerita-cerita kelam
mantan Istri Heri ketika masih bersamanya. Tetapi saat itu, aku masih SMA. Dan
aku hanya menjadi pendengar, tanpa pernah mengomentari cerita-cerita yang ku
dengar. Aku rasa, mama dan papa berat melepas Nana, karena status Heri
tersebut. Takut jikalau hal yang menimpa mantan istri Heri terjadi pada Nana.
Takut, jika nanti Nana diterlantarkan.
Ku pinta mama untuk memberikan Hape yang
ia pegang pada sepupuku, Aisa. Ku tanyakan padanya beberapa pertanyaan yang tak
ingin ku tanyakan pada mama. Dari penjelasan Aisa, dapat kubayangkan wajah papa
yang hanya menunduk ketika prosesi lamaran pada malam itu. Aku tahu papa, ia
akan diam seribu bahasa ketika sedang marah.
Ah, ya. Aku menyesal dengan keputusan
Nana. Ia seharusnya dapat mengundur prosesi ini,dan membicarakan baik-baik
dengan orang tua pada waktu yang tepat. Aku juga kecewa dengannya, sebab pada
dialah ku titip pesan yang ku bisikan di telinganya pada Juni 2012 silam,
sesaat sebelum kapal Very membawaku ke kota kaktus ini. Dan ia menyanggupinya
dengan anggukan kepalanya, menyanggupi kata-kataku _jaga papa juga mama. Jangan kase manangis dorang dua. Sabarlah dengan
dorang pe sikap yang keras_. Tapi pada kenyataannya, ia mengingkari
janjinya.
Rasanya aku ingin langsung menelpon dan
menagih janjinya, jika saja mama tak melarangku. Juga menanyakan mengapa ia tak
memberi tahuku rencana pernikahannya, padahal hampir setiap hari kami
berkomunikasi via hape..
“Mama, naimo ko kokil. Bekenemo doi
temeneno, Insya Allah dano ko monondok doi masalah nia[4]”,
ucapku, sengaja ku gunakan bahasa daerahku, agar teman-teman di musholah tidak
mengerti dengan percakapan kami.
“Ode, bai naimo ko banti-bantile doi
yana. Napa, popoisik kona noano. Tinggalemo, koila kona kinabai[5]”,
ucap mama.
Lagi. Aku terdiam, jelas Nana menyakiti
perasaan mama. Tetapi mama masih membelanya dengan alasan takut menyakiti
perasaan Nana.
***
Ku rasakan tubuhku mulai pegal-pegal. Sebab
seharian ini, sibuk mengurusi tugas kuliah.
“Halo, halo, Nis?”, panggil mama dari
seberang.
“Iya ma…”.
“Kamu dengar kan, apa yang mama
bilang?”.
Aku terhenyak, mencoba mengingat apa
yang mama bicarakan tadi. Aku hanya ingat perkataan awal mama tentang aku.
“Iya”, ku jawab dengan pendek. Mama
pasti sedang membicarakan kakak pertamaku, Iwan.
Nama lengkapnya Ikhwan. Itu nama aslinya,
bukan nama disamarkan. Sempat aku
menginginkan ia berstatus seperti namanya. Tentu bahagia rasanya. Namun, sejak
kepulanganku dari Kota Daeng, aku sadar, bahwa aku merindui kakakku dengan
dirinya. Bukan merindukannya sebagai seorang ikhwan yang memikul amanah dakwah.
Terakhir bertemu
dengannya ketika Agustus 2013 kemarin. Sayup-sayup ku dengar suaranya karena gangguan signal ketika ia
menelponku sebulan setelah pertemuan kami. Setelah itu, entahlah aku tidak tahu
dimana keberadaannya saat ini. Orang rumah di kampung pun lebih parah dariku,
mereka sama sekali tak pernah bertemunya sejak tahun 2013 kemarin.
“Pernah kakak ba hubungi kamu?”, tanya mama.
Lagi. Membuyarkan lamunanku.
“Untuk sekarang, tida
pernah lagi. Nomornya juga so te aktif”.
“Ya, sudah, kalau
kakak ba telpon, nanti kase tahu mama e. Bilang sama dia, mama suruh pulang saja
ka rumah. Mama dengan papa so maafkan dia, asal dia te ulang lagi depe
kesalahan. Siapa tahu kalau Nisa yang bilang, dia mau pulang”.
“Iya”, disusul
anggukan kepalaku.
“Kamu juga pulang
secepatnya ya, supaya torang ba kumpul semua. Mudah-mudahan Iwan so mau pulang.
Mama so rindu dengan dia”, ucap mama sebelum ia memutuskan percakapan kami.
Ah, mama. Jangankan
dirimu, aku saja merindukan kak Iwan. Aku merindukan saat-saat kami bermain
bersama. Saat ia mengajariku berenang, memancing, mendayung, bahkan memburu
binatang di hutan. Aku berjalan di belakangnya ketika seekor burung masuk
perangkap yang kami buat dari bambu dan tali. Atau ketika kami pulang sekolah
saat masih SD, dan banyak sekali teman-temannya berdiri di pagar sekolah. Atau
ketika ia meledekku karena rasa masakanku yang tidak karuan. Tetapi ia tetap melahapnya,
karena katanya aku tidak bisa memasak karena dia. Karena dia sering mengiyakan
ketika aku merengek ikut bersamanya.
Yah, aku
merindukannya. Terlebih suaranya yang telah lama tak lagi ku dengar. Aku
mengkhawatirkan keadaannya, kesehatannya. Dimana ia tinggal, makannya bagaimana.
Sebab terakhir bertemunya, ia begitu kurus tak terurus. Aku merindukannya,
sangat merindukannya. Ditambah, sebentar lagi Ramadhan akan tiba. Alangkah
bahagianya jika kami dapat berkumpul bersama. Semoga saja ia merindukan kami,
atau setidaknya merindukan mama yang teramat sayang padanya.
Mama, sejujurnya aku tak ingin pulang, sebab
sampai detik ini aku belum berhasil menghubungi kak Iwan. Sama sekali. Aku
ingin kita berkumpul kembali seperti tahun-tahun kemarin. Aku ingin
mengantarkan kak Iwan untuk bersujud di kaki mama dan papa, memohon maaf.
Karena seharusnya ia yang mencari kalian, bukan kalian yang memohon padanya
untuk pulang. Aku tahu betul, mama. Aku tahu betul kalau kak Iwan yang salah,
kakak yang memulai semua ini. Tapi kenapa mama dan papa yang tersiksa?. Mama
yang selalu menangis ketika rindu padanya, sampai-sampai mama jatuh sakit. Dan
papa, papa selalu berdiam diri ketika orang-orang bertanya tentang kakak. Papa
menanggung rasa bersalah yang teramat besar.
Aku tak ingin pulang, mama. Sebelum ku peroleh
kabar tentang kak Iwan. Aku ingin, Ramadhan nanti kita saling memafkan. Aku tak
ingin kita menyia-nyiakan kesempatan yang Allah berikan di bulan seribu
kebaikan.
Aku tak ingin pulang, dan mendapati kalian
dalam keadaan bersedih. Aku tak ingin pulang, sebab tak ingin menagih janji
Nana padaku. Aku tak ingin pulang, mama sebelum aku tunaikan semua janjiku.
***
Komentar
Posting Komentar