Kembung
Belum aku buka mataku dari lelap di
kamar kosku, tanganku telah meraih Handphone dan meletakannya di telinga.
“Halo…,kak aku jemput sekarang ya. Kita
langsung ke Lero, kumpul disana,” ucap Reret dari seberang.
“Ya..”
Aku bergegas dan bersiap-siap. Sudah lengkap dengan
senjata eh kamera maksudnya, kami berangkat. Rasa kantukku belum memudar, meski
untuk berjaga-jaga sebab dibonceng Reret dengan laju sepeda motor dengan
kecepatan 100 km/jam. Bagaimana tidak, kemarin seharian mataku ini tak aku
istirahatkan. Ditambah dengan tidur larut malam, karena harus ikut persidangan
salah satu lembaga eksternal kampus, yang disitu aku berharap pahala.
Seperti biasa, kami mengajar di Rumah
Bintang. Sebuah rumah baca untuk anak-anak pesisir di Desa Lero. Awal-awal
sejak diresmikan rumah bintang dengan sebuah spanduk ukuran 2 x 2 m yang
ditempelkan di tembok Madrasah Diniyah yang telah dihibahkan untuk kami menebar
semangat, anak-anak sangat ramai berkunjung. Mengikuti kelas dengan instruktur
yang sudah kami siapkan 2 hari sebelum turun berperang, eh mengajar. Instruktur
tak lain kami sendiri sesuai dengan panduan yang telah dibuat oleh bagian
kurikulum Rumah Bintang.
30 menit, 60 menit, akhirnya siswa satu
persatu keluar dari rumah masing-masing. Tetapi tak sebanyak diawal atau pada
minggu kemarin. Siswa hanya berjumlah 6 orang, tak lebih.
Kami menunggu yang lain, tapi tak jua
kunjung nongol. Akhirnya kami memulai kelas pagi itu dengan 6 siswa dan 1
instruktur. Sementara 4 instruktur yang lain menganggur. Kami duduk dibelakang
adik-adik yang sedang belajar bahasa inggris bersama Rini. Sambil sesekali
mengabadikan moment di depanku, aku mengikuti proses yang rini bawa dalam
kelasnya pagi itu.
“Kali ini kita akan belajar Bahasa
Inggris,” ucap Rini sembari menulis kata “Greetings”
di papan tulis.
“Greeting artinya ucapan salam. Tetapi Kita
akan mulai dengan memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris. Ada yang tahu?,”
lanjut Rini.
Kami tak menggugat metode yang ia
praktekan. Seorang anak bernama Abdi mengacungkan tangan, “Saya tahu kak,”
ucapnya. Rini antusias. “Oh ya?.”
“My name is Rini,” kata Rini. Lalu
meminta adik-adik mengulang kalimatnya dengan menyebut nama mereka. “My name
is…..”
Metode ini berhasil mengumpulkan
semangat adik-adik. Sambil bermain mereka antusias mengikuti arahan Rini. Ada
yang sambil mendendangkan lagu goyang 25di
sela-sela proses belajar mereka. Ada pula yang langsung memasang wajah bingung
+ kesusahan mendengar satu dua kalimat yang Rini ucapkan.
“Kak, kalau bahasa Inggrisnya shubuh
apa?,” seorang anak kembali mengacungkan tangan.
“Early Morning,” jawab Rini setelah
berpikir sejenak.
Dari Greetings hingga memperkenalkan
profesi dalam bahasa Inggris disertai gambar yang sudah Rini siapkan selaku
koordinator tim instrukture, sampai pada materi bagian-bagian tubuh lengkap
dengan gambar jua. Adik-adik kemudian diminta untuk menulis dan
mempraktekannya.
Meski hanya 6 orang, siswa pada pekan
ini lumayan aktif. Pembelajaran juga efektif meski dengan property
sederhana,juga tenaga pengajar yang sama sekali bukan background FKIP. Jelas
sudah bahwa latar belakang disiplin ilmu yang kami pelajari di Universitas
tidak dapat menjamin. Pun jelas sudah, bahwa jumlah yang sedikit tidak
mempengaruhi benih-benih semangat yang kami tabur. Toh ini melatih kita untuk
tetap bertahan, juga akan membuktikan sejauh mana kita mampu mempertahankan
komitmen yang telah kita simpulkan di awal, bak tali temali yang tak akan
putus.
“Kak, kalau bahasa Ingggrisnya rumah
apa?,” Tanya Nisa.
“Rumah?, House,” jawab rini lagi.
Anak-anak yang lain langsung mengulang
kata yang baru saja rini ucapkan.
“Haaauuusss….,” ucap mereka kompak. Rini
tak peduli, ia kembali melanjutkan kosa kata selanjutnya. Tetapi anak-anak
kembali berteriak, “Haaauuusss.” Rini tersenyum simpul, sembari mengarahkan pandangannya
padaku dan Reret. Memang hari ini kami lupa membeli snack sebab berangkat
pagi-pagi sekali.
10 menit kemudian, aku dan Reret membawa
sekantong air mineral dingin dan snack. Sambil mengucah snack dengan lahap,
mereka kembali melanjutkan pelajaran.
“Pinggang, bahasa inggrisnya waist. Apa?.”
“Waist,” jawab mereka.
“Perut = Stomach,” lanjut Rini.
“Kak, kalau bahasa Inggrisnya Kembung
apa?,” Tanya Abdi.
Aku tersentak. Menahan tawa, Reret pun
demikian. Nampak Rini berpikir keras,lalu mengarahkan tatapannya pada kami. Kami
menggeleng, pertanda tidak tahu.
“Kenapa?, perutmu kembung?,” Tanya Rini.
Abdi menggeleng. Dia siswa yang paling
aktif dan cepat menyerap pelajaran hari ini dari 5 teman-temannya.
“Tidak kak. Kalau Kembung apa bahasa
Inggrisnya?,”Abdi mengulang pertanyaan yang Rini masih terus berpikir mencari
jawaban.
Guru bahasa Inggris mereka yang tercatat
sebagai mahasiswa fakultas MIPA berdiri meraih kamus kecil bahasa Inggris.
Mencari kata yang ditanyakan muridnya. Kembung.
“Hmm.., minggu depan kita bermain di
pantai ya. Kumpul di dermaga dan ajak teman-temannya yang lain,” ucap Rini
sambil menutup kamusnya. Mungkin tak temukan kata “Kembung” didalamnya.
“Mandi laut?,” Abdi menyahut. Lagi. Rini
berhasil mengajar dengan caranya sendiri. Abdi lupa dengan pertanyaan tentang
kembung.
***
Komentar
Posting Komentar