Salam Untuk indonesia #Rubalang



Kak, Titip Salam untuk Indonesia

oleh : Anisa Mau'izhoh

Antara deru masin pambot[1] dan bunyi jangkrik, sekawanan burung terbang mengitari pepohonan di tepi pantai. Sementara di bawah langit sana, mentari mulai terbenam. Menyisakan jingga yang terlanjur membuat mataku tak berkedip. Lalu disusul dengan beberapa jepretan lensa kameraku yang menjadi kawan setiaku tanpa pernah mengeluh, bahkan memintaku untuk sejenak saja tak memenuhi hasratku untuk jepret sana dan sini, meski tak semua hasil jepretanku merekam detail apa yang ku lihat. Juga tak pernah bertanya mengapa aku melakukan hal yang sering aku lakukan. Mengejar sunset, mengaguminya, dan mencintainya.
***
Usai ku tunaikan sholat shubuhku, ditemani deburan ombak yang memecah bibir-bibir pantai, aku lahap halaman demi halaman almat surat di atas jembatan papan tanpa  pegangan. ku goyang-goyangkan Kakiku mengikuti irama ombak yang berdesis pelan, kadang menghempaskan dirinya dengan kasar. Disamping kananku berlabuh kapal berukuran sedang milik pak Husen, yang bersedia menampungku bersama teman-teman lainnya di rumahnya  yang tergolong mewah di pulau ini. Setidaknya untuk ukuran perbandingan dengan rumah yang lain.
Selesai ku baca almat surat,  membuatku beranjak dari tempat dudukku. Melompat ke arah kapal, lalu  memnanti sunrise. Perlahan langit mulai menguning, pertanda di timur sana sang Raja siang mulai beroperasi.   Sementara di tempatku berpijak saat ini, adalah bagian barat. Tepatnya Pulau Pangalasiang, Kec.Sojol, Kabupaten Donggala,  Sulawesi Tengah. Butuh sekitar 5 jam dengan kecepatan kendaraan bermotor 70/km dari ibu kota Sulawesi Tengah, Palu.
Assalamu’alaikum Sunrise. Aku menantimu diatas kapal dari pesisir, Pulau Pangalasiang,” ucapku sambil memejamkan mataku, lalu ku hirup udara pagi yang beraroma laut.
Beberapa meter dariku, berdiri pula salah satu tetua Rubalang, Kak Tofan. Dari gelagatnya, sepertinya ia turut menyaksikan apa yang aku saksikan. Bersama dengan salah satu rekanku Hajar, kami berdiam diri di katas kapal. Masing-masing sibuk dengan aktivitas sendiri, kecuali terdengar sahutan menyambung atau menjawab pertanyaan salah satu dari kami. Aku melompat ke arah depan kapal. Lalu ku ayunkan langkahku dengan lincah ke perahu berukuran sedang di samping kiri kapal. Ku amati laut di sekitar perahu,. Gelombang masih bersahabat. Namun harus ku akhiri waktuku disini dengan pertanyaan terakhir pada kak Tofan, mahasiswa fakultas Peairan yang pasti jauh lebih tahu hal-hal yang berhubungan dengan laut ketimbang Hajar, yang sedang belajar dengan status mahasiswa jurusan bahasa Inggris.
“Ini spieces apa, kak?,” tanyaku sambil terus memperhatikan sesuatu yang bergerombol berlalu lalang di depan mataku, berwarna biru dan berukuran kecil.
“Hmm, plankton mungkin. Tapi saya belum tahu pastinya,” jawab kak Tofan masih di tempat semula.
“Yah, payah,” ledekku. “ Kalau begitu, saya namakan kunang-kunang laut,” ucapku yang langsung disambut tawa kak Tofan dan Hajar yang renyah.
Ukurannya memang seperti kunang-kunang, hanya berbeda warna dan berbeda ekosistem. Warnanya biru menawan.
***
Jarum jam menunjukan pukul 08.00 pagi, ketika ku ayunkan kakiku menuju SD Pangalasiang yang berjarak kira-kira 1 km dari rumah pak Husen. Tentunya bersama kak Tofan, Hajar, dan satu lagi Rukmana, serta kak Arif. Anak pak  Husen yang sedang menempuh kuliahnya di fakultas yang sama dengan kak Tofan.
Mengenakan jilbab merah, aku memasuki SD Pangalasiang. Sekolah dasar yang bangunannya hanya beberapa langkah dari SMP Pangalasiang. Disini anak-anak sekolah harus melintasi laut  yang membelah pulau ini menjadi dua. Pambot menjadi satu-satunya transportasi di pulau nan elok ini.
Tugasku hanya menjadi seorang gadis yang menyaksikan apa yang dilihatnya dari balik lensa camera Canon. Berjalan cepat, bahkan setengah berlari untuk mengejar moment yang belum tentu sempurna ku dapat. Sebab aku baru belajar, yang ku sandang saat ini adalah photographer amatiran.
Ku tengok Rukmana yang hari itu mengenakan jilbab yang sama denganku. Ia Nampak kewalahan menghadapi anak-anak usia kelas 1 dan 2.  Butuh strategi khusus, sebab diberitahu pun mereka masih terlalu sulit untuk memahami. Berbeda dengan kelas 3 sampai 6 yang sudah bisa memaknai pesan. Rukmana kebingungan, konsep yang sudah kami rancang harus berubah karena kondisi. Beberapa kata-kata untuk mengumpulkan konsentrasi pada satu titik yaitu Rukmana, telah ia gencarkan. Toh, hasilnya sama.
Aku mulai ikut campur. Membantu Rukmana mengahadapi kurcaci-kurcaci yang menggemaskan. Beberapa gerakan ku ajari, lalu menjadi alat untuk memfokuskan perhatiannya padaku dan berhasil. Kami bernyanyi bersama. Tertawa di tengah teriknya mentari. Tertawa melihat tingkah lucu beberapa murid-murid. Ada yang nampak sangat takut, ada pula yang tidak peduli, ada yang sibuk bermain dengan teman sebangkunya, bahkan berkelahi. Menangis dan merengek.  Lalu kembali  berpose  karena  melihat  kamera yang  ku  arahkan padanya.
Suasana kembali tenang, Rukmana mengambil posisi kembali. Ia mulai sesinya dengan tembang kasih Ibu. Lalu mengucapkan beberapa kalimat. Aku kembali pada tugasku, berdiam diri di sudut kelas, mengamati gerak-gerik mereka dari balik lensa kamera.
“Jadi, air itu sangat banyak manfaatnya untuk tubuh kita. Siapa yang suka minum air putih?,” Tanya Rukmana sambil mengacungkan jarinya ke atas.
Murid-murid bergeming. Butuh beberapa detik untuk berhasil menangkap pertanyaan kakak cantik di depan mereka yang berjilbab merah dan berkaca mata. Beberapa dari mereka mengacungkan tangan, sedang yang lainnya tetap saja bergeming, sibuk dengan mencatat tulisan berbahasa asing di papan tulis.
“Bagus, kita memang harus sering minum air putih. Dan jangan terlalu sering minum coca cola, teh gelas, dan minuman berwarna yang lain,” lanjut Rukmana. Kali ini ia telah berada di posisi belakang kelas.
“Sekarang kita bermain di luar kelas ya,” ucap Rukmana. Tetapi kita menyanyi dulu…”
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya…. Dst.
Rukmana dan adik-adik di kelasnya duduk melingkar di bawah pohon mangga tepat di depan ruang guru. Ada yang mulai tenang, ada pula yang mulai resah. Mungkin ingin secepatnya pulang.
“Adik-adik, ada yang tahu sekarang kita sedang ada dimana?,” tanya Rukmana sambil mengedarkan pandangannya pada satu persatu kurcaci-kurcaci yang insya Allah akan menjadi kurcaci sholeh dan sholehah.
“Pangalasiang bu,” jawab Rini sambil mengacungkan jari telunjuknya  arah Rukmana.
“Ibu, bukan Ibu. Tapi kakak,” Rudi menyahut seiring tangan kanannya menjahili Rini dengan menarik ujung rambut jagungnya.
Rini tersipu.
“Ya, benar. Sekarang kita sedang berada di Pulau pangalasiang. Tetapi Pulau pangalasiang ini berada dalam Negara Indonesia. Indonesia adalah Negara yang cukup luas. Dan di Indonesia banyak terdapat pulau-pulau besar, seperti pulai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dan…..”
“kalo begitu, Pangalasiang berada di Indonesia?,” potong Putera. “berarti Indonesia kecil dong, karena Panglasiang juga kecil, bu.”
“Pangalasiang memang berada di Indonesia, tetapi terletak di pulau Sulawesi. Panglasiang ada di Sulawesi Tengah, di Palu. Dan dari palu ke pulau Pangalasiang butuh 5 jam. Kita akan melewati banyak desa dan hutan.”
“Tapi bu, Indonesia itu dimana?,” Putera kembali melontarkan pertanyaannya.
Ku lihat rukmaana tersenyum.
“Indonesia itu disini. Di tempat kita sekarang.”
“Ini kan pangalasiang, kenapa jadi Indonesia?.”
Rukmana melirikku.  Aku tahu ini tanda untuk meminta bantuan. Sebab ku tahu ia pasti sudah tak mampu menjawab pertanyaan Putera. Tapi  aku biarkan, toh tak selamanya kita akan menghadapi masyarakat kampus dengan bahasa ilmiah. Sekali-sekali kita akan berpikir untuk menjadi anak seusia mereka agar kita mampu untuk memahami apa keinginan mereka.
“Hmmm, begini. Ayo perbaiki duduknya. Indonesia adalah tempat kita sekarang. Pangalasiang adalah bagian dari Indonesia. Di Indonesia banyak kekayaan alam. Laut, tumbuh-tumbuhann, dan lain-lain. Dan di Pangalasiang banyak terdapat rumput laut, mangrove, dan…”
Rukmanan menghentikan penjelasannya. Anank-anak usia 6-7 tahun di sekelilingnya memasang wajah bingung.
“Dan…, siapa yang mau jadi Polisi?,” akhirnya pertanyaan ini yang terlontar.
Anak-anak tadi mengacungkan tangan dengan semangat. Yang mau jadi guru?. Atau dokter?. Anak-anak tadi kembali mengacungkan tangnnya tinggi-tinggi. Semua profesi yang disebut Rukmana ingin dilakoni anak-anak tersebut. Kecuali putera yang terdiam.
“Putera mau jadi apa?.”
“Jadi Polwan, bu.”
Rukmana tersenyum.
“Polwan itu polisi untuk wanita. Sedangkan untuk laki-laki itu polisi.”
Putera berdehem, sambil mengangguk-anggukan kepala.
Aku tersenyum, menyaksikan pengalaman pertama Rukmana menghadapi anak-anak yang sedikit-sedikit berkelahi dan merengek. Juga wajah-wajah anak-anak yang polos dan banyak bertanya.
Terik semakin menyekat. Peluh mulai bercucuran, tetapi semangat belajar mereka tak jua padam. Semakin terik, semakin bergelora semangat mereka. Sementara aku, mulai keletihan dengan kamera ditangan kananku. Aku lelah dengan hobyku yang satu ini. Lelah, di tambah dengan aroma pasir yang bertebaran di udara, serta panas terik yang tiada terperikan, lengkap sudah aku menyelam dalam mimpi jika saja putera tak menarik-narik ujung jilbabku. Aku melek. Sementara yang lain masih asyik dengan games mereka yang menantang sang mentari. Nampak di ujung sana kak Tofan asyik dengan yel-yel kelas 5 dan 6. Sedang Hajar bersama dengan siswa kelas  kelas 3-4 duduk melingkar di balik pagar tembok sekolah yang berhadapan dengan perpustakaan.
“Iya, kenapa dek?,” tanyaku sambil membungkuk, mensejajarkan tinggiku dengan tinggi putera.
“Indonesia itu luas?,” tanya Putera.
“Ya.”
“Cantik?.”
“Hmm, iya.”
“Ada lautnya?, kalo pambot, ada di Indonesia?.”
Ku letakan kameraku di pangkuanku. Lantas ku ajak Putera berjongkok di sampingku. Ku gambarkan letak Indonesia dengan 4 pulau besarnya di atas pasir.
“Ini adalah Indonesia. Maaf, gambar kakak jelek J.
Putera mengangguk, ia kemudian menjelma menjadi pemuda seumurku dengan anggukan kepalanya. Seakan-akan kami sedang menyusun strategi menemukan harta karun.
“Nah, ini semua adalah bagian dari Indonesia, terdiri dari ratusan pulau. Indonesia adalah nama Negara kita yang ibu kotanya di Jakarta. Jakarta itu ada disini. Dan ini yang paling sudut sebelah kiri kita adalah pulau Sumatera. Sedang yang ini adalah pulau Kalimantan, yang paling besar. Lalu Sulawesi yang seperti huruf K. Dan pulau Papua,” jelasku sambil menunjuk gambar setiap pulau yang ku sebut namanya.
“Pangalasiang ada di Pulau yang seperti huruf K ini. Letaknya di sini. Jadi dari sini, kita melewati banyak desa dan akhirnya naik pambot untuk sampai disini,” tambahku. Ku gambar pula lingkaran besar, titik, garis lurus, dan pambot.
“terus lautnya mana?.”
“ Ini lautnya,” tunjukku. Sambil menarik garis bergelombang dibawah gambar pambot. Entah ia mengerti dengan penjelasan yang menurutku sudah sangat sederhana. Ditambah dengan gambar di atas pasir yang jelas menunjukan bahwa yang menggambarnya tidak duduk di bangku TK.

Kurcaci lucu dengan wajah polosnya kini mengangguk-ngnggukkan kepala. Entah ia mengerti atau semakin bingung.
“Hmm, begini…”
“Kakak sering ke Indonesia?, kalo begitu putera titip salam untuk Indonesia, ya?,” ucapnya memotong kalimatku.
“Hmmm, ya!.” Aku mengangguk. Entah bagaimana menjelaskan padanya.
***


[1] Perahu dengan mesin katinting

Komentar