Masjid Nurul Iman Menjadi Saksi
oleh : Annisa Mau'izhoh
oleh : Annisa Mau'izhoh
Terik mentari seolah hendak membakar
kulit-kulit kami yang tipis. Meski telah ditutupi dengan baju, tetap saja panas
kota Palu tak mau berkompromi dengan siapapun termasuk kami.
Kami
dipertemukan dalam komunitas biasa-biasa saja tetapi semoga kami dapat
bermanfaat luar biasa bagi orang lain. Rubalang, Rumah Bahari Gemilang.
Berfokus pada kata Bahari, kami berproses pada pesisir . Berusaha berbagi
dengan kehadiran kami di tengah-tengah mereka. Bermain, berlari, melompat, dan
terjatuh. Lalu kami bangkit lagi, berlari lagi, tanpa mau menghitung berapa
kali kaki-kaki kering kami menghamburkan butiran-butiran pasir.
Belum
jauh langkah kami ayunkan untuk menyusuri pesisir Indonesia. Belum lebar sayap
kami mengepakkan semangat. Mengekor di belakang komunitas sahabat Pulau. Pun
belum tinggi loncatan kami layaknya Indonesia mengajar. Medan yang kami arungi
tak sesulit arena mengabdi komunitas gerakan Iqra mengajar. Tetapi Rubalang
adalah “alat perjuangan” kami untuk mencoba berbagi untuk anak2 pesisir,
menyumbangkan ilmu kami yang bak tetesan tinta macet di tengah hamparan lautan.
Lewat Rubalang kami memikirkan dan bertindak untuk Negara tercinta ini.
Lewat
Rubalang, kami menginspirasi. Pun terinspirasi. Lewat Rubalang kami menggagas
Indonesia Cerdas, Indonesia Gemilang. Bahkan lewat Rubalang, rindu-rindu kami
pada tanah kelahiran sedikit terobati. Yah, resiko pemuda rantau. Tetapi satu
hal yang perlu kita tanamkan, bahwa kehadiran kita di tengah-tengah mereka
adalah kontribusi terbaik. Begitu kira-kira bahasa yang selalu terlontar dari
Direktur Rubalang J, Tofan.
30
Januari 2015
Mentari masih berada di Tengah-tengah langit. Kian lama, kian
terik. Kami berkumpul, siap melajukan sepeda motor kami, berlomba dengan sang
waktu. Berpacu dengan langit yang terarak di atas sana yang mulai menunjukan
awan kelabu. Jika biasanya kami menghabiskan + 30 menit untuk tiba di lokasi
pengabdian, Lero. Kali ini kami membutuhkan waktu + 6 jam dari kota Palu dengan
kecepatan rata-rata 70 km/jam.
Bukan
seberapajauh, tetapi seberapa sering kita berbagi. Pun seberapa sering kita
kalahkan ego kita. Hanya butuh 2 atau 3 hari untuk keluar dari zona nyaman, kos
dan empuknya kasur kita. Tak peduli cuaca, tak peduli pula jika orang lain
memilih untuk mundur. Sebab bagi kami, mundur jauh lebih sulit dari menaklukan
jalanan terjal di depan kami. 190 km pun siap kami lalui dan tentunya kami
rekam dengan lensa mata kami.
30
lebih Desa kami lewati. Berbagai aktivitas terekam dalam memori kami. Ibu-ibu
muda yang berjalan, mungkin bergabung bersama para ibu-ibu lain untuk memulai
rumpi sore ala ibu-ibu. Sambil menggendong batita, anaknya yang berumur 4 tahun
merengek sembari menarik daster ibunya. Ada pula rumpi para ayah-ayah ditemani
kopi hitam berjamaah di teras rumah yang baru berdiri tiangnya. Atau pemuda
desa yang sibuk menunggu malam dengan mangkir di deker-deker.
Kami
tinggalkan pemandangan itu. Melewati desa yang baru, dan segerombolan kambing
melintasi jalan yang dipandu si gembala dengan ranting kering di tangan
kanannya. Kami berhenti sejenak, menepikan kuda bermesin kami, mencari
dego-dego tua di halaman rumah warga di Desa Meli, sembari menunggu 2 rekan
kami yang tertinggal.
1
menit, 2 menit, dan 3 menit berlalu. Memasuki 5 menit, sebut saja Tofan dan
Arif, mereka tak jua nampak. Setelah 10 menit berlalu, barulah kendaraan yang
dikemudikan Arif melaju. Meninggalkan kami (baca : iker, Rukmana, Hajar). Kami melambaikan tangan,
berharap mereka melihat kami. Namun sayang, kami teranjur terpisah. Terpisah
oleh waktu, terpisah oleh deretan pohon kelapa yang rapi. Terpisah oleh sunset yang bersembunyi di
balik awan. Sebelum ia membuang rasa malunya, dan menampakan keindahannya.
Mentari
mulai terbenam, antara dahan kelapa, pohon mangrove, dan hamparan lautan, kami
saksikan ia terbenam. Membentuk bulat sempurna dengan warna kuning
kemerah-merahan di sekitarnya yang menggoda. Sejenak mata salah satu rekan kami
menatap lurus, bergeming. Ia memang teramat mengagumi sunset. Bahkan hampir gila dibuatnya.
Kami tersadar,
kalau kami terpisah. Laju kendaraan
kembali berlomba dengan semilir angin.
Mencoba mengejar mereka yang
meninggalkan kami L. Desa demi desa kami
lalui. Magrib pun menghampiri. Kami mencari masjid untuk menunaikan kewajiban
kami. Hati kami terus merapalkan mantra penenang jiwa, agar kelak di masjid
yang kami singgahi, dapat bertemu mereka. Sebab hari semakin gelap, sementara
hutan sepi masih menghampar di depan. Medan yang cukup berbahaya bagi kami
akhwat-akhwat kece ini :-D.
Ketika
kami perhatikan, tak ada tanda-tanda keberadaan mereka, kami melajukan sepeda
motor kami menuju masjid selanjutnya. Lalu beberapa menit kemudian kami
menyunggingkan senyum terbaik kami. Mantra yang kami panjatkan pada pemilik
hati kami terkabul. Sosok Arif bersandar di motor beat biru yang membawa mereka
melaju membela mentari. Wajahnya masih menyisakan butiran-butiran air bekas
berwudhu. Di teras masjid duduk Tofan yang baru saja menunaikan sujudnya.
Kami
sumringah, melempar senyum. Di benak kami terselip puluhan pertanyaan tentang
kisah terpisahnya kami.
“Torang
kira kalian di depan. Makanya torang ba laju,” ucap Arif dengan dialeg bugisnya yang kental.
“Yah,
kami di belakang. Kami sudah melambai-lambaikan tangan tadi, tapi kalian tak
melihatnya,” hajar menimpali dengan wajah malunya.
“Kalian
berhenti sebelah mana?,” Tofan mulai nimbrung dengan percakapan kami.
“Kanan,”
jawab Rukmana.
“Hmm,
pantas. fokus penglihatan saya di sebelah kiri. sementara Arif focus di depan.”
“Ya
sudah, yang penting sekarang kita sudah bertemu. Yuk sholat dulu, nanti
dilanjutkan kisah terpisahnya kita,” ucapku.
Kami,
para akhwat-akhwat kece yang wajahnya telah beraroma debu jalanan memasuki
masjid, sementara para ikhwannya menunggu di teras. Usai sholat magrib kami
tunaikan, kami yang telah berjumlah lengkap J melanjutkan perjalanan kami. Kami tinggalkan masjid yang
bertuliskan di papan depan, masjid Nurul
Iman dengan deru kendaraan kami dan aroma gas motor matic. Segala yang kami
lewati menjadi saksi, pun masjid Nurul Iman.
***
Komentar
Posting Komentar