Saya bilang Mangrove, Mereka
bilang Parepa
oleh Annisa Mau'izhoh
Pagi itu kami berkumpul di meja makan. Sambil menikmati nasi goreng buatan yang empunya rumah, kami
merampungkan konsep untuk mengajar di SD Pangalasiang hari itu yang sempat tertunda lantaran letih telah lebih dulu
menyerang kami malam tadi. Perjalanan +
6 jam di tambah kisah terpisahnya kami,
lantas masjid Nurul Iman
menjadi saksi kisah kami, yang mungkin
saja terbahak-bahak setelah
mendengar penuturan kami di depannya.
“Kita akan bentuk
kelompok. Tetapi sebelumnya kita akan mengajar di kelas selama beberapa
menit. Kita kenalkan daerah mereka
“Pangalasiang” mulai dari satu
kata “Indonesia”. Jelaskan
pula pulau-pulau besar di
Indonesia, dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan Sulawesi, Papua hingga sampai pada Pangalasiang. Nah, kenalkan juga mereka cita-cita. Dan jangan lupa pandu mereka untuk merancang yel-yel.
Setelah itu kita akan kembangkan pembelajaran di kelas dengan outdoor,” jelas Iker, salah satu tim Rubalang yang
sering mengomel mendapati moment yang terekam dengan lensa kamera namun
hasilnya malah blur alias kabur.
“Hmm, saya paham dengan konsep yang Iker paparkan.
Silahkan teman-teman mengeksplor diri teman-teman. Sekarang kita dalam
Agenda RTE (Rubalang The Eksplorer),
jadi diri kita yang harus kita eksplorer,”
Jelasku.
Yang lain manggut-manggut. Saya melanjutkan, “kita
bagi kelas. Kelas 1 dan 2 ditangani sama
Rukmana. Kelas 3 dan 4, Hajar, dan saya kelas
5 dan 6. Sementara Iker dibantu Arif , focus pada dokumentasi. Ingat, kita mengadopsi konsep Indonesia
mengajar : mengajar, mendidik, dan
menginspirasi. Di kelas inspirasi, usahakan buat mereka terinspirasi dengan
diri kalian. Misalnya, saya akan menjelaskan pada mereka
tentang ekosistem laut.
Hajar boleh mengajarkan tentang Bahasa Inggris, dan Rukmana tentang zat kimia. Kita bisa
mulai kelas mengajar dengan lagu
sewaktu aku masih kecil, kelas mendidik dengan
lagu kasih ibu dan kelas
inspirasi dengan lagu Indonesia
Tanah Air Beta.”
Ku lihat mereka mengangguk, meski gurat keraguan
terlukis rapi di wajah mereka. Sebab beberapa dari kami, baru pertama kali
berhadapan dengan anak-anak. Tidak sulit sebenarnya, ala bisa karena biasa.
Yang jadi persoalan adalah, setiap hari kita terbiasa berinteraksi dengan
mahasiswa menggunakan Bahasa ilmiah. Kali ini, kita arus mengeksplor diri kita
untuk bisa menghadapi anak-anak.
***
Kami tiba di kelas masing-masing. Saya memulai
kelas saya. Melihat wajah anak-anak yang polos bercampur rasa ingin tahu yang tinggi,
membuat semangat saya berkobar. Membuat saya semakin yakin, bahwa ini adalah salah
satu cara mengabdikan diri saya sebagai putera bangsa untuk Indonesia.
Ku mulai kelasku dengan senyum hangat sekaligus
senyum terbaikku. Ku perkenalkan diri dan meminta mereka untuk menyebutkan nama
mereka, lalu aku mencatatnya biar mudah ku ingat. Dengan kostum ala pangeran
hutan, yang dilengkapi dengan mahkota dari daun yang melingkar berkarakter di
kepalaku, mulai ku tebarkan cinta. Yah, cinta. Sebab dengan cinta, aku dan
anak-anak ini dapat berkolaborasi.
Aku tak tahu dengan kelas yang di hendel oleh
hajar dan rukmana. Kecuali sayup-sayup terdengar suara mereka dengan nyanyian
yang sudah kami sepakati. Sebagai mahasiswa fakultas Peternakan dan perairan,
tentunya memperkenalkan laut adalah bagian dari keseharianku. Kurang lebih
demikian.
“Adik-adik, jadi ada tiga Ekosistem Laut. Ada yang
tahu?,” ucapku sambil mengacungkan tangan kananku. Berharap ada yang
menyambutnya, lalu merapalkan jawaban dari pertanyaanku.
“Parepa, nambo, dan karang,” jawab mereka serempak
dengan setengah berteriak, lantang.
Aku terdiam sejenak. Sejurus kemudian, ku luruskan
jawaban mereka.
“Wah, pintar semua. Tetapi Bahasa Indonesianya
yang baik dan benar adalah mangrove, lamun, dan karang. Mangrove, kalau disini
namanya Parepa, Lamun itu Nambo, dan karang. Jadi apa semua ekosistem laut?,”
tanyaku kembali.
“Parepa, nambo, dan karang,” jawab mereka. Lagi.
Serempak dengan teriakan lantang.
Lalu ku ulangi lagi.
“Parepa itu mangrove, nambo itu lamun, dan karang.
Jadi kalo kakak tanya apa semua tiga ekosistem laut?, jawabnya mangrove, lamun,
dan karang.”
Mereka mengangguk. Ku ulangi pertanyaanku, sekedar
mengetes pemahaman mereka.
“Apa semua 3 Ekosistem Laut?”.
“Mangrove, Lamun, dan Karang.”
Aku tersenyum puas.
***
Kami masih memanjakan tubuh kami. Sambil menikmati
deburan ombak yang menderu dibawah kolong rumah tempat kami menumpang.
Sayup-sayup kami dengar anak-anak tadi memanggil. Menyebut nama kami satu
persatu. Memang kami telah membuat janji dengan mereka ketika sore hari untuk
kembali menantang hari. Berlomba dengan arus air laut dan sibuk melompat dari
ketinggian lalu menceburkan diri dalam dasar laut. Kami akhirnya bergegas menuju
dermaga. Aku yang telah terlanjur basah lebih dulu dari tim RTE untuk menikmati
aroma air laut yang bercampur garam. Sementara yang lain, masih sibuk duduk
melingkar. Melanjutkan pelajaran tambahan, Bahasa Inggris. Lalu sejurus
kemudian mereka bermain dan tertawa dalam canda sambil merekam tawa-tawa mereka
dengan kamera yang selalu melingkar di leher Iker. saya akhirnya bergabung
dengan kelompok mereka. Bersama anak-anak lainnya kami menyanyikan lagu yang
sudah kami hafal. Diiringi tepuk tangan, dan tentunya kembali terekam oleh
kamera canon standar. Sebab, semua ini tak akan sama meski terulang persis
sama.
Ketika suasana kembali aman, saya melontarkan
kembali pertanyaan yang sama.
“3 Ekosistem Laut, apa semua?.”
“Parepa, Nambo, dan karang.”
“Mangrove, Lamun, dan karang,” saya membenarkan.
“Apa?.”
“Parepa, Nambo, dan karang.”
Ah sudahlah, saya bilang mangrove, mereka bilang
parepa. saya bilang lamun, mereka bilang Nambo, kecuali karang. Yang penting
adalah semangat belajar mereka yang terus berkobar.
***
*seperti yang dikisahkan TS pada penulis
Komentar
Posting Komentar