tugas dasjur


Jurnalis dalam Ancaman Profesi

Kemajuan pengetahuan di latar belakangi oleh bertambahnya pengetahuan di era informasi ini. Informasi yang berkembang tidak luput dari informasi yang disuguhkan oleh para jurnalis. Baik itu jurnalis televisi, radio, cetak, maupun jurnalis online. Malangnya, jurnalis di Negara ini banyak mengalami hambatan dalam menyuguhkan berita. Hambatan itu tak lain adalah adanya pihak yang menghalangi proses pencarian berita, peliputan, dan pemberitaan.
Adanya pihak yang menghalangi kerja jurnalis ini, kemungkinan disebabkan karena mereka merasa terancam dengan pemberitaan yang ada. Segala tindak kekerasan mereka lakukan, termasuk penganiyaan. Hal ini jelas merupakan pengekangan terhadap pers. Padahal dijelaskan dalam UU NO 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DI INDONESIA BAB    II ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS Pasal 2 (Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum).
Meski kemerdekaan Pers diatur dalam UU, namun kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi dari masa rezim soekarno hingga masa sekarang. Jika kita menengok sejarah, ada beberapa pers yang di bredel terkait dengan pemberitaan yang dimuat. Pemberitaan yang kebanyakan mengkritik kebijakan pemerintah pada masa itu.  Saat ini, UU No 40, sepertinya tidak lagi dapat menjamin kebebasan seorang wartawan dalam mencari berita. Kebebasan yang tentunya sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Salah satu  kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis yaitu, kekerasan yang terjadi pada Carlos Pardede. Reporter SCTV yang dianiaya ketika hendak mewawancarai Gubernur BI Boediono terkait pencalonannya sebagai cawapres pendamping SBY, pada 2009 silam.
Sejumlah satpam dengan arogan meminta tim SCTV meninggalkan kartu identitas. Padahal biasanya mereka tidak meminta KTP untuk ditinggal di pos satpam. Tiba-tiba salah seorang satpam bernama Marlon menanduk kepala korban hingga mengeluarkan darah. Tidak hanya itu, satpam yang berjumlah 10 orang juga menendang Aris, kameramen SCTV, bahkan salah seorang staf BI juga memukul kamera dan menutup-nutupi kamera.
Masih banyak kasus yang lebih parah lagi. Padahal jelas telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang pers. Tindakan kekerasan ini nyata menghalangi penyiaran berita untuk memberikan informasi kepada publik.
Padahal kemerdekaan pers telah di jelaskan dalam UU no 40 tentang Pers khususnya Bab II Pasal 4 (3) “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Tidak berlakunya undang-undang ini, dikarenakan oknum kurang perhatian dengan hukum yang ada. Kebanyakan dari mereka memandang profesi wartawan sebagai suatu profesi yang hanya sibuk menggembar-gemborkan aib orang lain.
Padahal, tidak demikian. Kita seharusnya mengucapkan terima kasih kepada jurnalis atas kerjanya yang menyuguhkan informasi kepada kita. Jika tidak ada para jurnalis, mungkin kita akan ketinggalan  informasi. Namun realitasnya sekarang adalah  jangankan mendapat apresiasi, dibiarkan para jurnalis mengerjakan tugasnya dalam mencari berita saja tidak. Ada oknum yang menghambat kerja jurnalistik.
Menengok kembali UU NO 40 Tahun 1999 TENTANG PERS di Indonesia, dimana untuk menjamin kemerdekaan pers, maka pers diberikan hak untuk melakukan proses mencari berita hingga meliput, dan mempublikasikannya. Jika dalam melakukan proses meliput, telah terjadi tindakan pengekangan dan pembatasan informasi, maka kemerdekaan pers tidak berlaku. Namun jika di tinjau dari pelaku kekerasan, maka pelaku kekerasan terhadap wartawan harus diadili. Sebab dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini dituangkan dalam UU No 40 Bab III Pasal 8.
Berkaitan dengan perlindungan hukum seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya, UU tentang Pers telah mengatur. Oknum yang menghambat kerja jurnalis, akan diadili sesuai prosedural hukum yang ada. Sebagaimana dijelaskan dalam BAB VIII
KETENTUAN PIDANA Pasal 18 (1) “Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta  rupiah).
Adanya hukum yang mengatur tentang pers tidak membuat kemerdekaan pers terjamin. Padahal karya jurnalistik dapat membantu pembangunan di Indonesia. Hal ini memberikan gambaran pada kita betapa lemahnya penerapan hukum di Negara  kita.
Kekerasan  terhadap wartawan menandakan betapa beratnya medan kerja bagi para jurnalis. Di tambah lagi dengan penegakkan hukum terkait UU No 40 Tahun 1999. Hanya ada segelintir masyarakat dan pejabat yang mendukung profesi wartawan dalam menjalankan tugasnya.
Sejumlah kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan tidak menyebabkan si wartawan itu mundur dari kerjanya. Tetapi sebaliknya, semangat mereka semakin meletup-letup dalam mencari informasi untuk di suguhkan kepada orang banyak. Sebab jurnalis, tidak bekerja berdasarkan kepentingannya sendiri, tetapi memperjuangkan idealisme orang banyak.
Hal ini terbukti dengan berberapa jurnalis yang terancam kehidupannya karena penganiyaan oleh oknum namun tetap bisa mempersembahkan karya-karya jurnalistik. Artinya, para jurnalis meski mengalami ancaman dalam dunia kerjanya, hal itu bukan menjadi hambatan untuk berkarya. Tetapi sebaliknya, ancaman itu menjadikan mereka semakin tertantang untuk memberikan informasi yang lebih kepada publik. Sebab profesi ini telah menyatu dengan aliran darah dan mengakar dalam denyut nadi mereka. karena  pekerjaan ini bukan untuk mencari popularitas semata apalagi hanya sekedar coba-coba.

Komentar