Langit masih cerah, meski malam telah menghampiri. Angin masih segar
meski senja telah pergi. Siluet indah masih tertanam di sudut kalbu Dewi. Ia
biasanya menyusuri sepanjang bibir pantai, mencari pose senja terindah. Untuk diamatinya
dan Ia bandingkan dengan senja kemarin, saat cakrawala perlahan pergi. Inilah
yang dilakukannya jika senja menghampiri dan malam bertepi.
Ia terus berkelana dalam bayang-bayang senja. Itu membuatnya sedikit
tenang dari kebingungannya. Bingung dengan hiruk pikuk lelaki yang kebanyakan
telah beristeri bahkan bisa dipanggil kakek berlalu-lalang di rumahnya. Ibu nya
seorang pemilik rumah bordir dengan jumlah PSK yang banyak dan cantik-cantik
layaknya wanita Lebanon yang memiliki mata biru. Karena banyaknya wanita yang
cantik, banyak pula yang menganggur. Setiap pria yang datang akan meminta wanita yang lebih cantik dari
wanita yang melayani mereka sebelumnya.
Ibunya tidak peduli dengannya. Ia mau menghilang sebulan pun, this ok.
Yang ibunya tahu hanyalah membuat nya besar. Sejauh ini, Dewi sudah bisa
memilih jalannya. Ibunya tak pernah bermaksud untuk menjadikan Dewi seperti
gadis-gadis cantik lainnya, yang menjual tubuhnya demi rupiah. Karena Ia masih
punya stok, bahkan lebih.
"Aku pamit, bu," ucap Dewi pada ibunya. Ibunya tengah
bernegosiasi dengan seorang pria bernama Andi.
"Iya." hanya itu yang ibunya katakan. Ia cuek dengan Dewi.
Tak peduli, yang ada dipikirannya hanyalah rupiah yang menggunung.
"Hmm....., Bu Mega. Saya akan bayar 3 kali lipat asal saya bisa
dengan perawan malam ini. Saya bosan dengan perempuan-perempuan cantik
disini," ucap Pak Andi sambil mengerlikan matanya pada beberapa perempuan
yang lewat di depan mereka.
"Itu susah, pak. Bapak tahu sendiri, disini tak ada lagi yang
perawan. Seperti biasa aja lah pak. Saya akan panggilkan yang paling cantik,
gimana?".
"Ya udah deh. Tapi kalau ada barang baru jangan lupa beri tahu
saya".
"Ok Pak. Pak Andi tenang saja."
"Siapa Dewi saya malam ini?".
"Ou...., sabar pak. Sandra......". Panggil bu Mega.
"Saya, Bu?." perempuan bernama Sandra itu menghampiri.
"Iya, layani Bapak ini." Sandra mengangguk. "Gimana,
Pak?. Cantik, kan?", lanjutnya.
Pak Andi mengerlikan matanya, dan memberi segepok uang berjumlah
sepuluh juta.
*****
Dewi menyusuri sepanjang jalan, menghampiri tepi pantai. Samudera di
tengah laut sana lebih tenang. Ia mulai tidak senang dengan bisnis ibunya, dan
lebih keberatan lagi karena namanya dijadikan nama bisnis itu. Rumah Nikmat Dewi.Kenapa nggak nama lain
aja? kalau memang masih terus menjalani usaha ini. Atau nama Ibu aja. Kan lebih
tepat. Rumah Nikmat Mega. Aku rasanya kotor dengan semua ini. 19 tahun hidup
dengan uang haram. Ahk, andai aku tak terlahir dari rahim seorang pemilik rumah
bordir.....
Malam semakin larut, Dewi menyusuri trotoar masuk gang rumahnya. Ia
tinggal seatap dengan rumah bordir itu. Kamarnya ia buat kedap suara, jadi tak
mendengar alunan dosa yang membahana. Memenuhi ruang-ruang rumah. Berdiam diri
dengan mengurung diri di kamar lebih baik, dari pada menonton pemandangan kotor
penuh dosa itu.
Musik sedikit reda pagi itu. Mereka akan beroperasi mulai pukul 05.00
PM hingga 05.00 AM. Para PSK sibuk dengan memeluk bantal. setelah semalam full
beroperasi. Ada juga beberapa yang mulai merokok, menyebarkan aroma khas dosa.
Ada juga yang sibuk menceritakan pengalaman mereka semalam dengan pria A, atau
pria B.
"Baru bangun, Wi", tanya ibunya. Dewi mengangguk
"Ibu perhatiin, kamu belakangan ini sering keluar?. Ada
apa?." Lanjut ibunya.
"Bukan urusan Ibu. Sejak kapan Ibu peduli denganku?. Ibu hanya
peduli dengan mereka yang memberi ibu penghasilan!". Dewi beranjak.
"Dewi!. kurang ajar kamu!. Ibu nggak pernah maksa kamu buat
terima hal ini. Kamu keberatan, Ibu usaha ginian??", Dewi tak bersuara.
"Asal kamu tahu, kalau nggak usaha gini, kamu nggak bisa lanjutin
pendidikan kamu. Mau nggak mau, kamu harus terima. Toh ini sudah menghidupi Ibu
dan kamu selama belasan tahun.!!!!."
"Akhh......, ok! terserah Ibu. Tapi aku nggak mau namaku jadi
nama usaha ini. titik!"
Dewi mengacak-ngacak kasurnya. "Hidup kok aneh, tak peduli baik
atau buruk," batinnya.
"Dasar anak, edan!. masih syukur aku ngurus dia. Emang dia siapa?
aku udah bela-belain dia. Hidupin dia, udah besar nglunjak.!!!!," Bu Mega
menyulut sebatang rokok.
****
"Selamat pagi, Bu Mega,' sapa Pak Ismail.
"Pagi, pak. Mau yang gimana?," sambut Bu Mega.
"Saya tak mau basa-basi lagi. Semua perempuan disini sudah saya
rasakan semuanya. Saya mau sesuatu yang beda. Mereka tak lagi mengasikkan. Saya
mau yang perawan".
"Bukan hanya bapak yang menginginkan hal itu, tapi saya belum
punya barang baru."
"Terserah Ibu Mega saja. Saya akan mencari tempat lain untuk
memenuhi keinginan saya."
"Waduh, pak. Jangan begitu." Ibu Mega berpikir.
"Gimana,kalau anak ibu saja. Masih perawan kan?", usul Pak
Ismail.
Bu Mega terdiam. Ia tak punya pilihan. Dari pada kliennya pindah
tempat, Ia akan rugi. Toh Dewi bukan anak kandungnya.
"Desi, sini kamu." Perempuan yang bernama Desi menghampiri.
"Panggilkan Dewi. Suruh Dia dandan yang cantik. Suruh temui saya 10 menit
lagi."
"Ngapain dandan, Mbak?," tanya Dewi pada Desi.
"Gue nggak tahu. Madam nyuruhnya gitu." Desi berlalu.
"Ngapain, Bu?," tanya Dewi tanpa dandan sedikit diwajahnya.
Bedak pun tidak.
"Ibu kan nyuruh kamu dandan. Ngapain awut-awutan gini??".
"Oh...., aku tahu. Ibu mau nyuruh aku kayak perempuan-perempuan
itu?," Dewi menunjuk beberapa PSK. " Masih kurang, perawan
mereka?," lanjutnya.
"Jaga mulut kamu!".
"Nggak ada harimau yang makan anak nya sendiri. Tapi Ibu, bahkan
menghancurkan!."
"Dewi....., sudah seharusnya kamu membalas jasa Ibu mu,"
ucap Pak Ismail. Matanya memandang nakal tubuh Dewi yang hanya memakai celana
selutut.
"Diam kamu! ini bukan urusan kamu!. Anda juga, bukankah anda
sudah punya Isteri? Atau Istri Anda kurang cantik. Bukankah di rumah
gratis?," ucap Dewi setengah berteriak.
"Plaak..." tangan Bu Mega mendarat di pipi Dewi. "
Jangan kurang ajar kamu.! dia tamu kamu. Kamu harus buat Dia senang malam
ini."
"Nggak......, aku nggak akan mau."
"Sudahlah, jangan paksa Dia. Saya bisa cari tempat lain,"
Pak ismail beranjak.
"Dasar anak nggak tahu di untung. Kamu tahu, aku lakuin usaha ini
untuk hidupin kamu. Kamu saya pungut di jalan. Mungkin Ibu kamu nggak mau
ngurus kamu. Karena Ia tahu kamu akan tumbuh menjadi gadis yang pembangkang.
Kalau nggak gini, kamu mungkin sudah mati. Karena aku nggak bisa beliin susu
buat kamu."
" Apa Ibu juga seperti ini sebelumnya?. Dimana ibuku?," ada
bias kristal di mata dewi.
"Iya. Aku dulu seperti mereka. Menjual harga diriku demi
mengobati sakit ini. Dan demi membesarkan bayi perempuan yang ku temukan di
jalanan yang ku beri nama Dewi."
"Sakit?"
"Iya, suamiku yang kau panggil Ayah ku pergoki selingkuh. Setiap
malam Ia selalu mengunjungi rumah bordir. Dan menikmati perempuan-perempuan PSK
itu."
Ada benci juga iba pada Ibu nya.
"Ku harus bagaimana?"
"Bantu Ibu, Ibu akan rugi besar jika semua klien menginginkan
perawan. Sementara tak ada yang perawan di tempat ini."
Bu Mega menghapus air matanya. Seorang klien barunya menghampiri.
"Sana, dandan yang cantik," bisiknya. Dewi menggeleng.
"Rumah ini sekarang adalah penjara buatmu. Kamu tak bisa kemana-kemana,
sudah saatnya kamu membalas jasaku, " lanjutnya lagi.
Dewi mendadani wajahnya. Ia olesi bedak tipis. Tak perlu make up lain,
karena Ia memang cantik. Ia biarkan rambutnya sebahu tergerai. Mengenakan gaun
biru selutut dengan motif kembang-kembang di bagian bawah. Ia keluar dari
kamarnya.
"Sempurna.....!," desis Pak Ilham pelan. "Berapa yang
kamu minta, Bu Mega?," lanjutnya tanpa melepas pandangannya dari Dewi.
"50 Juta untuk malam ini."
"Kau menjualku, Ibu." Bu Mega tak peduli dengan itu. Pak
Ilham menyerahkan segepok uang senilai Rp.50 juta rupiah.
"Layani Pak Ilham dengan baik. Beliau tamu pertamamu."
"Dasar sinting," pekik Dewi keras. "Aku tak sebodoh
yang kalian pikir," bisiknya pada Pak Ilham.
******
Kantor Majalah Al-Furqan.................
Beberapa pegawai sibuk dibalik meja kerja masing-masing. Tapi ada juga
yang sudah mengisi hak perutnya di kantin sebelah.
"Akhi, makan dulu. Nantilah dilanjutkan kerjamu," ajak Deni.
Rekan kerjanya yang punya paham sama sepertinya.
"Ntar, Den. Tanggung nih. Makan aja duluan, ntar aku
nyusul," Faqih menjawab tanpa melepas pandangan di layar monitor. Deni
mengangguk.
"Makan siang bersama saya, ya." Ucap Pak Hadi. Pemimpin
mereka di majalah Al-Furqan. Faqih
melongo. "Ada yang hendak ku bicarakan denganmu," lanjutnya.
"Baik, Pak." Faqih mematikan komputernya.
"Ini, surat tugas kamu."Pak Hadi menyodorkan surat tugas
pada Faqih. Ia membukanya.
"Ke tempat para PSK????," Faqih melipat kembali surat itu.
"Iya, kamu hanya punya waktu sampai besok untuk mencari berita
ini. Kita dikejar deadline. kamu juga
harus merampungkan tugas kamu dalam beberapa hari, kan?."
"Iya, Pak. Tapi.....????".
"Lakukan saja. Jangan takut, justru ini tantangan buat kamu. Saya
mengerti dengan paham kamu, tapi dengan mencari berita soal ini kamu akan
mengetahui keimananmu sampe mana."
****
"Ayolah....., Dewi. Aku sudah membayarmu pada Ibu mu," Pak
Ilham mendekat pada tubuh Dewi. Ia belai rambutnya. "Ayolah, anak
manis....."
"Kau terlalu bodoh, Pak Ilham." Dewi melepas tangan yang
membelai rambutnya. " Istri Anda sedang menunggu di rumah. Disana gratis,
ngapain buang-buang duit disini hanya untuk perempuan seperti aku yang sebentar
lagi akan menjadi Ibu," Dewi membuat skenario untuk keselamatan
perawannya.
"Maksud kamu??". Pak Ilham melepas belaiannya.
"Yah, aku tak lagi perawan. Aku sudah menikah," bisiknya
lembut pada telinga Pak Ilham.
"Kau jangan bercanda. Aku tak pernah melihat mu disini sebelumnya,
bersama perempuan-peremuan lainnya."
"Itu karena aku sudah pensiun menjadi wanita liar."
"Kalau begitu, mana suamimu??."
Wajah Dewi berubah. Disini tak ada lelaki yang akan Ia suruh menjadi
suami sandiwaranya. Kecuali memberi imbalan sama seperti melayani tamu-tamunya.
Ia melangkah keluar, diikuti Pak Ismail. Ia melempar pandangannya ke seuruh
penjuru, tak ada laki-laki nganggur. semuanya punya perempuan-peerempuan cantik
di bilik masing-masing.
"Sebentar, aku ke toilet dulu. Bapak jangan kemana-mana," Dewi
secepat kilat pergi. Pak Ilham menunggu.
Faqih memarkir sepeda motornya. kali ini Ia tak mengenakan pakaian
biasanya.Tapi justru memakai pakaian ala pemuda jalanan. Identitas jurnalisnya
ia tutupi. operasi kali ini, ia seolah menjadi pengunjung Rumah Nikmat dewi.
Tapi ia tetap tampan, wajahnya bersih. Faqih mengamati rumah itu. Sepi.
"Selamat malam," sapa Dewi pada Faqih. Ia tidak pergi ke
toilet, tapi berdiri de depan pintu Rumah Nikmat Dewi. Dewi mengulurkan
tangannya, " Aku, Dewi," lanjutnya.
"Faqih." Ia tersenyum dan mengatupkan tangannya. Dewi
semakin rumit dengan hal ini. Ia benar-benar buta dengan Syari'at. Tapi Ia tak
peduli dengan hal ini. Sejenak Faqih memandangnya. "Anda mahasiswa arsitek
itu, kan?," lanjut Faqih.
Dewi terbelalak. "Iya saya."
"Ngapain disini?, tidak lagi membuat desain bangunan untuk tempat
ini kan?." Faqih tersenyum, menawan.
"Aku...Aku....., disini tempatku."
Faqih terdiam. Ia mengerti dengan apa yang baru dikatakan Dewi. Tapi
yang Ia sayangkan, adalah kecerdasan Dewi. Ia terlalu cerdas untuk pekerjaan
ini, PSK. Tapi bukankah ini akan
mempermudah tugasku?.
"Hm...m...m, aku boleh minta bantuanmu? please kali ini, bantu
aku," tatapnya pada Faqih. Faqih menoleh. Dan mata mereka beradu. Ya Allah, indah sekali mata ini.
Astagfirullah......
"Bantuan apa?".
"Bersandiwarahlah denganku untuk menjadi suamiku, beberapa menit
saja."
Faqih terbelalak. Aneh. "Tapi
kenapa?."
"Aku dijual Ibuku untuk melayani tamunya malam ini. Itu karena
aku membantah melayani tamunya siang tadi. Ia menjadi rugi besar. Dengan
menjadi suami sementaraku, aku akan selamat dari laki-laki tak bermoral
itu," Dewi menunjuk Pak Ilham. "Aku akan jelaskan semuanya, setelah
berhasil lepas darinya," lanjutnya.
"Baiklah, tapi kau juga harus membantuku."
"Ok. Aku akan lakukan apapun yang kau minta. Asal tak semotif
dengan laki-laki yang tengah bercengkerama dengan wanita-wanita cantik
disana."
"Tenang Dewi...., aku tak seperti mereka."
"Pak Ilham, maaf membuatmu lama menunggu. Ini suamiku, ia
menjemputku untuk pulang." Dewi tersenyum.
"Aku, Faqih." Ia mengulurkan tangannya. Tapi Pak Ilham tak
mau berjabat tangan.
"Kurang ajar, bu Mega. Kau sudah menipuku." Pak Ismail
mencari Bu Mega. Ia akan minta kembali uang yang telah Ia berikan.
"Ayo......, pergi dari sini," Dewi berlari. disusul Faqih.
Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ibunya akan menyeringai bak harimau
dan akan memakan anaknya.
"Apa yang bisa ku bantu untukmu?," tanya Dewi sambil menatap
Faqih dan tersenyum. Tapi Faqih menunduk, Ia tahu apa yang akan terjadi jika
matanya beradu dengan sepasang mata bening milik dewi. Syetan-syetan akan
menari di pelupuk mata mereka.
"Aku butuh informasi tentang PSK. Mulai dari pendapatannya,
motivasinya, juga tujuannya dengan pekerjaan ini."
"Pekerjaan??? kamu bilang ini pekerjaan??. Ini bukan pekerjaan,
tapi dosa!.", Dewi mencari mata milik Faqih. "Kenapa dengan mereka?.
Kau berniat mencari keterangan tentang mereka buat apa? apa untuk mencari
perawan seperti kebanyakan laki-laki yang berkunjung disana?," lanjutnya.
"Tidak demikian, ini......"
"Ini apa?, kau juga berpikir aku bagian dari mereka??."
"Dewi...., aku tak bermaksud begitu. Ini murni karena tugas, aku
seorang jurnalis. Wartawan Majalah Al-Furqan.
Pemimpinku memerintahkan untuk memuat berita tentang PSK. Tapi kalau memang
kamu tidak bersedia memberi informasi, aku tidak memaksa. Aku bisa kembali ke
Rumah Nikmat Dewi."
Meski dengan wajah manyun tak bersemangat, Dewi memberikan informasi
yang ia ketahui. Tentang ibunya, Sandra, Desi, dan beberapa perempuan-perempuan
yang mendiami Rumah Nikmat Dewi. Faqih menyimak dengan fasih. sesekali
tangannya mencoret-coret huruf di buku sakunya.
"Boleh aku bertanya sesuatu?, ucap Faqih setelah Dewi selesai
bicara. Ia mengangguk. "Aku mohon maaf, jika harus ku tanyakan hal ini.
Mengapa kau bukan bagian dari mereka?. Ibu mu pemilik Rumah Nikmat Dewi, dan
Dewi yang dimaksud itu adalah kamu kan?".
Butiran hujan menderas di pipi Dewi.
"Aku masih terlalu buruk untuk masuk ke dalamnya. Aku tak
secantik mereka, jelas aku tak akan laku. Tapi bukan karena itu alasanku.
Cakrawala di senja itu pun tahu bahwa aku memberontak, aku menangis tiap malam
menghampiri. Karena itu pertanda operasi usaha Ibuku akan di mulai lagi. Aku
tak tahu cara harus melawan. Sementara sejauh ini, aku hidup dengan penghasilan
Ibuku.
Aku juga keberatan dengan nama usaha Ibu. Kenapa harus namaku?. 19
tahun lamanya baru kusadari. Kenapa nggak nama Ibu saja?. Namun, lagi-lagi aku
tak tahu cara untuk melawan." Butiran hujan itu menjadi sungai-sengai
kecil yang terus menderas di pipi Dewi. Kau
salah, memang kau tak secantik mereka. Karena mereka hanya seperti perempuan
Lebanon yang bermata biru. Dan kamu seperti Aisyah yang tak hanya memiliki
Inner Beauty tapi juga Smart Beauty.
"Maaf, membuatmu menangis. Aku permisi. Assalamu'alaikum."
"Faqih, jangan muat namaku," teriak Dewi. Faqih mengangguk. "Malam ini, aku tak akan kembali ke
rumah. Ibu tak akan berhenti mancarikan langganannya untuk ku layani,"
bantin Dewi.
*****
Ia menyusuri sepanjang jalan, hampir melewati malam. Tak ada tujuan
pastinya, hingga shubuh bertepi padanya. Mendapati sebuah masjid membuatnya
semakin rumit. Gimana cara wudhu?cara
sholat?. Tapi aku ingin sholat.
Dewi memasuki halaman masjid itu, duduk di teras. Tak tahu harus
berbuat apa. Di dalam masjid itu sebagian penduduk bumi, tak sampai separuh
menunaikan shubuh.
"Assalamu'alaikum...., kamu ngapain disini?," sapa seorang
perempuan yang baru keluar dari masjid. Ia masih mengenakan mukena.
"Aku......, tak tahu harus berbuat apa," jawab Dewi. Ia
menatap gadis anggun di depannya.
"Aku, Luna." Ia mengulurkan tangannya.
"Dewi."
"Dimana rumahmu?".
Dewi terdiam, tak mungkin ia menjawab rumah nikmat Dewi. "Aku tak tahu,"
"Hmm, ya sudah. Mau ikut denganku?"
"Kemana?,
"Penginapan, tak jauh dari sini." Dewi mengangguk.
****
Luna mulai mengajari cara wudhu, sholat, dan hijab. Tak sulit
mengajarkan pada Dewi. Ia butuh pemahaman dasar saja. Setelah itu mengalir
bagai debu Gaza. Karena Ia gadis yang cerdas.
"Wi, aku akan melanjutkan perjalananku. Kalau kamu mau, kamu bisa
ikut aku. Tapi tak seterusnya, karena aku punya banyak urusan yang kau tak bisa
untuk ikut bersamaku. Aku akan mengantarkanmu ke pesantren. Itu pun kalau kamu
mau, mau belajar dan meninggalkan hitam hidupmu yang kemarin," Luna
mengemasi pakaiannya.
"Pesantren?, tempat belajar agama kan?, aku ingin ikut denganmu.
Aku juga bisa belajar padamu."
"Aku pasti mengajarimu jika aku bisa. Tapi aku punya tanggung
jawab lain."
"Tanggung jawab? kau hendak kemana?".
"Gaza!." Luna memperbaiki posisi kerudungnya.
"Gaza?, itu kan daerah konflik. Ngapain kesana?, cari mati
aja," Dewi mencibir
"Nanti kau akan tahu jawabannya sendiri." Luna tersenyum.
"ayo, aku akan mengantarmu ke Pesantren."
"Apa kita akan berjumpa lagi, Luna?," mata Dewi mulai
berair. Ia tahu Gaza.
"Insya Allah. Allah yang mempertemukan kita pertama kali. Insya
Allah, kita akan bertemu dalam keadaan Istiqomah. amin!.
Luna meninggalkan Dewi di Pesantren Putri "Annisa". Ia
kemudian menuju bandara. Jiwanya telah terikat dengan tangisan rakyat Gaza di
tengah dentuman bom. Nafasnya telah berhembus di antara debu-debu Gaza, di
antara jeritan perempuan Palestina yang kehilangan anak, suami. Atau teriakan
anak-anak di tepi Gaza yang mencari orang tua mereka.
Ia akan menemui citanya, jihad. Itu yang ia terus pekikkan. Hatinya
terus menjerit setiap besi dan timah panas
jatuh di tanah Palestina. "Untukmu
Palestina tercinta, aku penuhi panggilanmu. Aku tak mau, hanya saudaraku yang
menjemput cita mereka di Palestina. Meski ku sadari jalan ini tak seperti
kerikil di Jakarta, tapi ku lepaskan jiwaku menjemput citaku. JIHAD!"
****
Hari pertama di Pesantren Putri......
Para santri disini tak pernah berjumpa dengan laki-laki kecuali ustadz
mereka. Mereka selalu dengan dzikir di bibir mereka yang tak pernah terkatup.
Lisan-lisan mereka tak pernah melahirkan kata kasar. Kedatangan Dewi menjadi
hal baru. Ia tiba di pesantren tanpa jilbab. Hanya memakai jeans ketat, dan
baju lengan pendek yang bawahannya sampai ke paha.
Ia diberikan baju kurung, dan jilbab yang ekspres agar tak repot
memakainya. Mulai diajari tata tertib pesantren. Awalnya, Dewi kesusahan. Tak
boleh melepas jilbab kecuali di kamar seorang diri, atau pada mahram mereka.
Persoalan mahram, ia juga sudah pelajari itu. Gerah, hampir setiap hari pertama
ia rasakan. Setelah itu teduh, nyaman dan memberikan warna indah yang tak
pernah Ia peroleh dari rumah bordir Ibunya.
"Aku anak seorang pelacur, juga pemilik rumah bordir yang
memiliki perempuan-perempuan cantik. Hampir aku terjebak dalam gemilang hidup
ibuku dan para PSK itu. Tapi seorang pria menyelamatkan ku," Dewi
meletakan mushaf disamping bantalnya.
"Pria? bukankah setiap pria yang berkunjung ke rumah bordir itu
adalah para pemuas nafsu syetan mereka?," Nayla menatap mata bening Dewi,
yang sekarang semakin meneduhkan.
"Dia tidak berkunjung untuk itu, tapi karena menjalankan
tugasnya. Ia seorang jurnalis majalah Islami, yang mengangkat para PSK yang
menandakan semakin hilangnya harga diri para perempuan islam saat ini,"
lanjut Dewi. Nayla dan beberapa akhwat yang lain mendengar tanpa lepas
memandang gadis cantik di depan mereka.Ini cerita menarik karena mereka tak pernah
mendengar cerita tentang pria.
"Bahkan ada yang lucu awal perkenalan kami. Aku yang sama sekali
tak mengerti persoalan hijab, mengulurkan tanganku padanya. tapi dia
mengatupkan tangannya dan sering menunduk. Aku sering mencari matanya, tapi
selalu beralih. Aku bingung dengan hal ini, tapi setelah disini baru ku ketahui
hukumnya," Dewi tersenyum malu. Akhwat-akhwat yang lain itu pun tersenyum
keki.
"Ukhti, Dia tampan nda?," tanya Nurul.
"Hidungnya sedikit mancung, putih dan bersih. Dan bercahaya, setiap
perempuan yang melihatnya pasti tergoda," lanjut Dewi.
"Jadi, kau juga tergoda?," goda Nabil.
"Itu dulu, sekarang nggak tahu lah..... :-)"
"Kau tak mengharapkannya?," sela Nurul.
"Aku masih mengharapkan bertemu Luna di Bumi Palestina.
Memimpikan sama-sama berbaur di balik debu Gaza. Aku ingin menemaninya
menjemput citanya juga citaku saat ini. Aku ingin bertemu pemilik nafasku di
balik timah panas yang menghampar sepanjang jalur Gaza. Meski tubuhku harus
menelan peluruh besi dari tentara Israel. Karena memang kita diciptakan untuk
menolong agama Allah.
Akan ku teriakan Asma-Nya di sana, aku tak mau hanya membuat syair di
bumi ini. Karena tak akan merubah apapun, Gaza harusnya menjadi tujuan kita
semua." Akhwat yang lain tertegun. Mereka hanya belajar tentang Islam,
tapi tak jua memiliki tekad seperti gadis Mesir di depan mereka ini. Ada nada
malu pada kalbu mereka. Dewi yang baru 2 tahun belajar di Pesantern memiliki
tekad yang luar biasa. Sedang mereka yang sudah bertahun-tahun membalut tubuh
mereka dengan ilmu tak pernah berfikir begitu, mereka hanya bertasbih atau
menangis ketika tubuh-tubuh perempuan Palestina tergeletak tanpa jilbab.
"Kau benar-benar seperti Luna, Ukhti. Tekadnya memang berbeda
dari kita," ucap Nabil. Luna dulunya seorang santri di pesantren ini.
Cita-cita nya adalah JIHAD. Sedang kami sibuk ingin menjadi yang kami mau. Ia
tidak terima ketika kakak laki-lakinya yang menjadi ustadz kami menemui
cintanya di Gaza. Ia kemudian menyusul diam-diam, setelah mengantarmu
kesini," lanjutnya.
"Luna, tunggu aku. Kita akan menaklukan debu Gaza
bersama!!!!,". Mereka berpelukan.
*****
Berita Faqih tentang para PSK itu membuat beberapa media pertelevisian
menyorot para PSK itu. Alhasil, Rumah Nikmat Dewi ditutup. Para PSK entah
kemana membawa nasib mereka. Sedang Bu Mega sibuk mencari Dewi. Ada penyesalan
yang berlabuh di hatinya. Menyesal pernah bermaksud menjual anaknya, seperti ia
mmenjual perawannya hanya karena sakit hati. Ia tak memiliki siapa-siapa lagi
kecuali Dewi yang entah dimana Ia sekarang, meski Dewi hanyalah anak angkatnya.
Sementara Faqih, sibuk dengan karirnya di dunia Jurnalistik.
Tugas-tugas yang mengancam aqidahnya tak jarang bosnya berikan, tapi seorang
Faqih kian mantap imannya. Ia terus menjalankan tugasnya, di bawah tekanan orang
tuanya yang menginginkan Faqih tak terlalu fokus dengan pekerjaannya.
"Umurmu sudah 27, Faqih," ucap Ibunya ketika Faqih tengah
membersihkan kameranya.
"Iya, Faqih tahu. Emang kenapa, Bu?." Faqih menatap sayang
pada Ibunya.
"Kamu selalu berupaya untuk menjalankan sunnah, menikah adalah
separuh agama," sambung ayahnya.
Faqih tertegun." Faqih masih terlalu muda Bu, Ayah. Ntar juga
ketemu jodohku." Ucap Faqih. "Faqih pamit," Faqih mencium
punggung tangan orang tuanya. Kali ini Ia ditugaskan meliput kondisi pesantren
Putri "Annisa". Juga ia perlu wawancara dengan Ustadz yang telah
bosnya tentukan. Jadi, jika karyawan perempuan, akan sulit untuk wawancara
dengan ustadz. persoalan bertemu dengan para santriwati, itu bukan masalah.
Buktinya kemarin, Ia berhasil dari wanita penggoda di rumah Nikmat Dewi.
Faqih sibuk mengambil gambar yang Ia rasa dibutuhkan dalam pembuatan
beritanya. Beberapa gambar yang indah, hingga kameranya menangkap gambar yang
tak kalah indah. Kameranya tepat pada seorang santriwati yang mengenakan gamis
berwarna hijau tua dan jilbab selaras yang menjuntai hingga perut. Faqih tak
langsung memotret, tapi memperhatikan dari balik kameranya.
Tangan santriwati itu sibuk mendesain sebuah bangunan. Ia sendiri,
santriwati yang lain sibuk menghafal kitab."Traak". Kamera Faqih
mengabadikan gambar indah itu. Ia tak mau berlama-lama disini, lebih baik
memilih berlama-lama di tempat para PSK. Di banding pesantren Putri ini, karena
hatinya lebih mudah tergoda oleh perempuan-perempuan berkerudung syar'i yang
menjuntai dengan pakaian takwa mereka, di banding perempuan yang hanya memakai
pakaian seksi yang serba terbuka.
Faqih teringat Dewi, gadis yang membuat sandiwara konyol tapi
berkesan. Ia salah satu mahasiswa jurusan arsitek. Ahh....., andai Dewi telah hijrah....., tak salah aku membantunya malam
itu. Bagaima kabarnya sekarang? semoga dalam lindungan-Mu Ya Allah.
Setelah memperoleh bahan berita, Faqih pamit pada ustadz dan istrinya
yang Ia wawancarai. Tapi langkahnya tertahan ketika gadis yang Ia abadikan
gambarnya pada lensa kameranya itu tiba di depan pintu.
"Assalamu'alaikum.....," ucapnya dan duduk dekat ustadzah
Maya. "Maaf, aku tak tahu kalau ada tamu," lanjutnya. Tangannya
memegang sebuah gambar bangunan.
"Tak apa, Dewi." Ucap ustadz Farhan. "Kenalkan, ini
Faqih seorang wartawan majalah. Ia tengah meliput pesantren kita. Faqih, ini
Dewi santri kami yang cerdas, Ia baru setahun beberpa bulan disini."
Faqih dan Dewi saling memandang untuk membenarkan hati mereka.
"Ya Allah, Dia benar Dewi. Pemilik mata bening malam itu. Dia
benar-benar seperti Cleopatra sekarang. Anggun, dengan jilbabnya," batin
Faqih. Dewi tersenyum setelah memastikan bahwa Ia, Faqih yang pernah
menolongnya malam itu.
Dewi menjelaskan gambarnya. Sebuah desain untuk Pesantrennya. Ustadz dan ustadzah juga
Faqih tersenyum puas. Mereka akan merenovasi pesantren Annisa sesuai dengan
desain bangunan Dewi. Ada nilai pless pada berita Faqih kali ini. Juga pada
sosok Dewi. Yang dulu Ia katakan seperti aisyah, dan sekarang Ia katakan
seperti Cleopatra. Entah besok Ia akan katakan apa lagi karena proses yang semakin membuat pemilik
mata bening itu semakin cantik.
Faqih dan Dewi pamit.
"Dewi....," panggil Faqih. Dewi menoleh. Mereka berjalan
berjauhan.
"Boleh aku bertanya padamu?."
"Kau selalu seperti ini, tak ada yang berubah selalu permisi jika
ingin bertanya. Bertanyalah...... :-)."
"Apa kau percaya, akan ada pertemuan ke-2 setelah pertemuan
ke-1?. Dan akan ada pertemuann ke-3 setelah pertemuan ke-2?." Dewi masi
diam.
"Apa kau percaya, akan ada pembicaraan ke-2 setelah pembicaraan
ke-1?, dan akan ada pembicaraan ke-3 setelah pertemuan ke-2?".
Dewi tersenyum."Menurut Akhi??, assalamu'alaikum......,"
Dewi meninggalkan Faqih. Faqih tersenyum.
****
Dewi meninggalkan pesantrennya untuk sementara. Pergi menyusuri jejak
Luna, kita akan bertemu, Luna. Memenuhi
panggilan Bumi Palestina. Gaza saat itu masih tenang, meski jeritan
bersahutan. Tapi setidaknya, terhenti sedikit bunyi peluru-peluru tentara
Israel yang lepas dari senjatanya. Nampak dari balik reruntuhan Luna
mengeluarkan seorang bocah perempuan yang tak lagi memakai kain penutup kepala.
Jalannya terseok-seok, orang tuanya telah meninggal tertimbun reruntuhan
rumahnya akibat bom yang dilemparkan tentara Israel. Israel terlaknat....!!!!
"Lunaa........, teriak seorang perempuan berjilbab tak jauh
darinya yang tak lain adalah Dewi. Saat itu Luna tengah membersihkan luka
ditubuh gadis yang Ia tolong tadi. Luna Mendongak.
"Dewi...., subhanallah.....," Luna tersenyum.
"Bagaimana ceritanya?"
"Aku ingin menaklukan debu Gaza yang berbau darah ini bersamamu.
Aku bersama rombongan relawan dari Jakarta, beberapa minggu disini." Wajah
Luna agak kurus, dan berdebu tapi tak menyembunyikan nyantiknya.
"Sini, ku bantu." Tangan arsitek Dewi cekatan membersihkan
darah di tubuh gadis itu. Luna tersenyum.
Luna dan Dewi menyusuri sepanjang debu Gaza. Mencari rakyat Gaza di
tengah puing-puing reruntuhan. Beberapa hari lagi Dewi akan kembali ke Mesir
untuk pulang ke indonesia bersama para rombongan.
"Tolong....tolong....". Luna dan Dewi mencari sumber suara
itu. Dan ternyata suara itu berasal dari dari balik tembok yang telah hancur
sebagian. Luna dan Dewi kembali teriris hatinya, wanita yang tengah minta
tolong karena kakinya tertimbun bongkahan rumah dan tak jauh darinya bayi
perempuannya terkulai tak berdaya. Bayi yang baru berumur 3 bulan itu, terkoyak
tubuhnya dan menjadi santapan anjing pelacak tentara Israel.
"Ya Allah......," rintih Dewi di depan bayi yang tak
bertubuh lagi. "Israel terkutuk!!!!".
Mereka kemudian membersihkan bongkahan reruntuhan itu dan membantu
wanita yang telah lemas menyaksikan tubuh anaknya terkoyak anjing. Mereka
memapah wanita tadi membawa pada seorang wanita paruh baya. Luna beranjak, tapi
Dewi tidak.
Ia perlahan mendekat pada seorang wanita yang mereka memanggilnya
Ummi. Jantungnya berdegup seolah mengatakan Dialah wanita yang dicarinya.
Wanita yang membuangnya di tepi jalan. Wanita tadi menatap Dewi, matanya
bening. Seperti mata milik Dewi. Senyumnya, seperti senyum Dewi.
Wanita itu membelai jilbab Dewi. Mata mereka beradu. Ya Allah....., Dia anakku.... Tapi Dewi berenjak mundur. Tatapan mereka
memberi cerita bahwa mereka terikat darah. Oh.
Ya Allah..... Wanita tadi mengejar, "anakku.....," teriaknya.
Beberapa relawan terdiam. mereka menikmati pemandangan dramatis di depan
mereka. Luna juga.
"Humairoh......," ucapnya lagi.
Dewi menggeleng. "Aku bukan Humairoh....."
"Kau Humairoh....., Humairoh anakku...". Ia mendekat pada
tubuh Dewi, melihat sela jari-jarinya. "Kau punya tanda lahir, disela jari
manis tangan kananmu." Ia menemukan tanda itu.
Mata indah milik mereka mengalirkan sungai kecil di tengah debu Gaza.
Dewi memeluk Ibunya. Ia tak mau tahu motif apa Ibunya sampai meletakannya di
tepi jalan.
"Kau tak meminta alasan Ibu, meletakanmu di tepi jalan
itu?," Ibunya bersuara.
"Tak perlu, Bu. Aku hanya berdoa setiap saat agar bertemu
denganmu atau mengenal sosokmu. Tidak meminta akan bertemu denganmu dan meminta
alasanmu. Dan kita dipertemukan disini, diantara debu Gaza. Di antara
peluru-peluru tentara Israel. Aku hanya ingin memelukmu." Luna meneteskan
air mata. Disekitar mereka pun menitihkan air mata.
Bulan bertepi di jalur Gaza, yang merupakan penerang rakyat gaza. Tak
ada listrik, karena Israel telah memboikot listrik, dan bantuan kemanusiaan
untuk rakyat Palestina. Mereka berbaur di kem pengungsian bersama para korban.
Tiba-tiba, terdengar bunyi tembakan. Dan menyusul teriakan seorang perempuan.
Mereka menunggu situasi aman. Ketika mereka keluar dari tenda-tenda pengungsian,
teriakan tadi adalah teriakan Luna. Tubuhnya penuh dengan darah.
"Lihat, Dia masih hidup," ucap seorang relawan. Dewi
meletakan kepala Luna di pangkuannya.
"Luna, bertahan. Kita akan cari bantuan.....," bisik Dewi.
Luna menggeleng. "Aku telah menemui cintaku, juga citaku."
"Kau pernah berkata kan?, akan pulang denganku ke Jakarta.
Bertahanlah....!!!!." Dewi mengeluarkan bening-bening kristal yang
membasahi pipinya.
"Pulanglah jika memang tiba saatnya kau dan rombongan akan
pulang. Sampaikan salamku untuk Indonesia. Dan sampaikan pada santri Annisa,
bahwa aku telah menemui cintaku di antara kepulan debu Gaza dan di antara
teriakan rakyat palestina.... Dan lahirkanlah Dewi-Dewi yang lain untuk menjadi
peluruh Palestina untuk menyelamatkan Gaza melawan Israel." Luna
menghembus nafas terakhir. Bibirnya menyungging senyum, menyongsong bertemu
cintanya.
****
Dewi bersama rombongan beberapa jam lagi meninggalkan Gaza.
"Ibu berjanjilah padaku, kau akan pulang denganku." Luna
menatap wajah yang telah berkerut di hadapannya.
"Aku terlalu banyak membuat janji, anakku. Dulu aku berjanji akan
menjaga amanah Allah dengan menjagamu. Tapi lalai dari janjiku. Dan kemudian
aku berjanji pada Allah untuk membantu rakyat Palestina semampuku. Aku tak bisa
membuat janji lagi denganmu, nak. Karena janjiku untuk Palestina belum
terpenuhi."
"Tapi....., aku ......"
"Pulanglah, Nak. Ibu akan mengantarkan hingga perbatasan. Aku
sudah pernah meninggalkanmu ketika kamu belum mengenal dunia. Dan sekarang aku
tak takut meninggalkanmu lagi. Karena ku yakin kau dapat menjaga
Izzah-mu."
Dewi dan rombongan menuju perbatasan Gaza dan Palestina. Ketika mereka
hendak meninggalkan perbatasan, tubuh perempuan yang mengantarkan mereka jatuh
seketika. Peluru panas itu tertancap di dadanya.
"Ibuuuuu........," teriak Dewi. Tapi nyawa Ibunya telah
menyusul Luna menjemput cinta mereka.
"Kalian pergilah, kami akan mengurus mayat ini. Kondisi nya
bahaya." Seorang rakyat Palestina membawa mayat itu. Dewi meninggalkan
Gaza, meninggalkan Luna dan Ibunya menjemput cinta mereka.
****
Mereka tiba di Mesir. Besok akan melanjutkan perjalanan ke Indonesia.
Faqih tengah memindahkan hasil jepretnya di Gaza selama seminggu di laptopnya.
Besok dengan keberangkatan yang sama dengan Dewi dan rombongan akan pulang ke
Indonesia. Dari balik jendela apartemen, Faqih kembali mengabadikan sungai Nil.
Namun kameranya menangkap sosok gadis tengah membuat desain bangunan di tepi
sungai Nil. Ia mengabadikan sungai Nil berikut gadis berjilbab itu. Sejenak Ia
amati gambar gadis tadi dengan lensa kameranya.
"Tidak salah lagi, Dia pasti Dewi," gumam Faqih. Ia menuju
tepi Sungai Nil. "Assalamu'alaikum....". Dewi menoleh.
"Walaikumsalam," jawabnya. "Kau....." Faqih masih
sibuk dengan bidikan lensanya.
"Iya, sedang apa disini?," Faqih melepas kameranya, dan
duduk berjarak dari Dewi.
"Sedang membuat desain bangunan untuk Gaza. Aku akan menitip
desainku pada KBBRI jika suatu saat Palestina merdeka," ucapnya tanpa
menoleh pada Faqih. "Kau?".
"Aku baru dari Gaza, meliput disana. Besok baru akan menuju
Indonesia bersama rombongan yang baru dari Gaza." Dewi mengehentikan
kerjanya.
"Kapan ke Gaza?".
"Minggu kemarin, hanya seminggu bertempur di balik debu
Gaza."
"Aku 2 minggu disana. Besok juga baru akan pulang ke
Indonesia."
"O, ya?." Faqih kembali mencari sasaran lensanya."
Mereka yang pulang dari Gaza berwajah cerah, meski lelah dengan sisa debu yang
menempel di tubuh mereka. Ada apa denganmu, Wi?".
"Namaku Humairoh," desah Dewi pelan. "Aku menemukan
Ibuku, disana. Juga sahabatku, Luna. Dia yang mengantarkanku untuk meneguk
Islam. Hanya mengantarkanku saja, setelah itu Ia menuju Gaza. Ingin menemui
cintanya. Kau masih ingat, ketika aku di rumah bordir itu?". Faqih
mengangguk."Dia bukan ibuku, aku bertemu Ibuku di Gaza. Tapi mereka berdua
telah menuju cinta mereka." Bulir-bulir bening itu jatuh, menderas
bergabung bersama sungai Nil.
"Jangan menangis, aku tak suka melihat muslimah menangis. Kau
terlalu tangguh untuk menangisi hal ini. Ketika kau terjebak dalam rumamh
bordir, kau tak menangis. Kenapa sekarang menangis??." Faqih tak melepas
kameranya.
"Aku bukan menangisi mereka yang telah pergi menjemput cintanya.
Tapi aku menangisi dosa yang telah Israel lakukan pada jiwa kita. Bukankah,
musllim itu bersaudara?." Dewi menatap Faqih. Ada kagum yang terbias di
hati Faqih.
****
Rumah itu bagai syurga cinta. Di taburi dengan dzikir yang membahana.
Faqih menyempurnakan separuh agamanya. Akad itu selesai terucap, dan Cleopatra
di mata Faqih menjadi sosok Dewi. Juga sosok Aisyah, menjadi Humairoh. Lengkaplah
Faqih mempersunting Dewi. Yang kini menjadi Dewi Humairoh.
"Aku punya hadiah untuk akhwat yang aku cintai,"bisiknya
pada Dewi. Mereka masih berbagi cerita dengan orang tua Faqih. Dewi
menceritakan masa lalunya."Sudahlah, kami menerima semuanya, kok. Sekarang
Kau bagai Purnama tanpa cacat untukku." Faqih menggenggam tangan Dewi.
Orang tuanya tersenyum.
"Kau membuatku malu di depan orang tuamu," Dewi melepas
jilbabnya.
Faqih tersenyum. Ia nyalakan laptopnya,"lihat ini Wi." Dewi
mendekat.
"Kau diam-diam mengoleksi fotoku ;-)". Ada lebih dari 20
gambar Dewi di laptop Faqih yang ia ambil saat tiba-tiba bertemu dengannya.
"Wi, Kau masih ingatkan ucapakan tempoh dulu saat di
Annisa?."
"Akan ada pertemuan ke-2
setelah pertemuan ke-1. Dan akan ada pertemuan ke-3 setelah pertemuan ke-2, itu
kan? yang Mas Faqih ucapkan?."
"Akan ada pembicaraan ke-2 setelah pembicaraan ke-1, dan akan ada
pembicaraan ke-3 setelah pembicaraan ke-2," sambung Faqih. Ia menoleh pada
Dewi."Kau memanggilku apa?".
"Mas......, Mas Faqih," ulang Dewi.
"Kau mulai berubah, dan sekarang tanpa kerudung di depanku
;-)." Ia membelai wajah Dewi. "Kau Purnama tanpa Cacat untukku".
Ia Mengecup kening Dewi. Mata Indah Dewi terpejam." Kau tahu mengapa aku mencintaimu?". Dewi
menggeleng.
"Karena kau purnama untukku. Kau Cleopatraku, kau Aisyahku. Aku
mencintaimu dalam doaku. Aku mencintaimu dalam dzikirku......". Faqih
mengecup bibir milik Dewi untuk yang pertama kali.
"Rasanya debu Gaza masih disini, aku
menjemput cintaku di Sungai Nil," batin Dewi.
****
"Ukhti Dewi, kan?," sapa Nurul ketika Dewi dan Faqih
berkunjung ke Pesantren. Pesantren sudah berubah, ada beberapa bangunan yang
telah direnovasi berdasarkan desain bangunan Dewi. Mereka berjabat tangan.
"Baik-baik saja kan?, tanya Dewi.
"Ia, kami semua alhamdulillah dalam keadaan baik. Siapa Dia,
ukhti?"
"Belahan jiwaku. Masih ingat kan, jurnalis ikhwan yang pernah aku
ceritakan pada kalian?
Nurul mengangguk."Jadi, ukhti telah menikah?. Subhanallah, kalian
pasangan yang serasi." Faqih dan Dewi tersenyum." Dia lebih tampan
dari yang kau ceritakan," bisiknya pada telinga Dewi. Dewi kembali
mengulum senyum. "Kau mengambil Dewi dari kami. Itu artinya kami akan
kehilangan Cleopatra Annisa," ucapnya pada Faqih.
Faqih tersenyum,"bukan hanya aku yang menyebutmu Cleopatra. Tapi
mereka juga, Kau benar-benar purnama untukku. Purnama tanpa cacat,"
bisiknya pada Dewi, separuh nafasnya.
****
Komentar
Posting Komentar