Gara-gara Miss World Oleh : Annisa Mau’izhoh




“Tumben mba udah bangun jam segini,” ucap Annisa padaku.
Hari ini aku memang tidak seperti biasanya. Hari-hari kemarin aku bangun saat mama sudah sibuk mengomel. Atau saat jam wekerku sudah tidak mau ku ajak kompromi. Atau si Beo, burung kesayangan Annisa sudah memanggil namaku. Beo memang sudah pandai meniru perkataan orang. Karena setiap hari mama selalu membangunkanku dengan berteriak dari dapur.
“Mba ada urusan, Nis,” kataku. Sambil langsung masuk kamar mandi.
“Kan hari sabtu, mba. Biasanya mba Nana nggak keluar kalau hari sabtu,” ucap Annisa lagi.
“Mau tahu aja urusan orang dewasa,” sahutku dari dalam kamar mandi.
Annisa adikku satu-satunya memang selalu ingin tahu apapun yang ingin aku lakukan. Dia bahkan sudah hafal dengan aktivitasku. Ketika aku menegurnya karena sifatnya itu, ia malah berkilah,” kan nggak salah, kalau Annisa ingin tahu. Annisa kan pengen jadi wartawan.”
“Jadi  dokter aja, Nis. Nggak usah wartawan. Dokter lebih bagus,” kataku.
“Nggak ah, mba. Wartawan sering kemana-kemana. Tahu hal banyak, tapi kalau dokter tahunya hanya nyuntik orang.”
Annisa memang jengkel dengan dokter. Pernah ia di suntik dokter saat kelas satu SD, dan hasilnya tangannya bengkak. Memar lagi, sampai berapa hari. Sekarang sejak naik kelas 2, Nisa nggak pernah mau lagi di ajak ke dokter kalau demam. Takut di suntik katanya.
Aku keluar dari kamarku dengan pakaian rapi. Hari ini aku akan ikut aksi damai penolakan Miss World di Indonesia, bersama dengan beberapa aktivis organisasi islam lainnya.
“Mba mau kemana sih?,” tanya Nisa lagi.
“Mba Nana mau ikut demo Nis,” jawab mama.
“Demo itu apa sih?,” tanyanya lagi.
Kini mama yang meladeni pertanyaan Nisa. Aku sudah berangkat. Aku dan aktivis lainnya tiba di rute yang sudah kami tentukan pukul 17.00 WIB. Selesai sudah aksi hari ini, beberapa kader HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) memakai topeng wajah salah satu miss world dan sepatu high sebagai bentuk penolakan terhadap ajang Miss World di Indonesia.
Usai aksi itu aku langsung pulang. Ku dapati Nisa masih memandikan si Beo.
“Mba Nana, tadi aku lihat mba Nana lho di TV,” ucap Nisa.
“O ya?.”
“Iya. Tapi mba, kenapa mba sama teman-teman nggak suka dengan Miss Wor sih?. Kan mereka cantik-cantik. Apalagi yang dari korea.”
“Miss World, Nis. Bukan Wor.”
“Iya itu maksud Nisa”
“Miss world itu pakaiannya ke buka, Nis alias seksi. Nah, perempuan itu nggak boleh memperlihatkan auratnya,” jelasku.
Ingin ku jelaskan pada Nisa persoalam mudharatnya jika ajang Miss World tetap di adakan di Indonesia. Tapi ku rasa, nisa belum mengerti tentang hal ini. Aurat saja, mungkin ia belum paham.
“Mba, aurat itu kan ajaran islam kan mba?.”
Aku mengangguk. Sudah ku duga, kami akan membahas tentang aurat.
“Kalau begitu nggak apa-apa dong, mereka seksi. Kan mereka bukan orang islam.”
Yah betul juga sih apa yang dikatakan Nisa. Tapi aku malas berdebat soal ini. Aku cape. Ku tinggalkan saja Nisa yang masih mengurusi si Beo sambil mengacak-ngacak rambutnya. Mengikuti pertanyaan Nisa tak akan ada habis-habisnya. Padahal jika ku pikir-pikir lagi, kami kalah cepat. Harusnya, aksi kami lakukan jauh sebelum peserta Miss World tiba di Indonesia. Inilah salah satu kelemahan umat muslim, lalod alias lambat loading. Meski kita aksi damai atau demo atau apalah nama lainnya, toh sia-sia saja hasilnya. Pemerintah tidak akan membatalkan ajang kecantikan ini.  Malulah Negara garuda ini, jika sampai ajang Miss World batal. Ahkh…., pusing…..Tapi sudahlah, yang penting kami sudah berusaha. Dari pada tidak bertindak sama sekali.
******
Tanggal 28 September, ajang pemilihan Miss World akan ditayangkan. Sejak ba’da isya aku sudah nangkring di depan TV. Saat ini aku yang berkuasa, Nisa sampai ngambek karena acara kesukaannya di lewatkan. Tapi beberapa saat ia mulai nyerosos dengan pertanyaannya.
“Mba, ngapain nonton Miss Wor?. Katanya anti sama yang seksi-seksi,” tanyanya.
“Yah,……,” aku mencari-cari alasan.
“Kemarin mba Nana demo, sekarang malah nonton Miss Wor. Nisa jadi bingung. Mba Nanaaa…mba Nana, sama ucapan saja tidak setia. Ucapan itu harus sesuai dengan tindakan,” lanjut Nisa lagi. Sepertinya mama salah ngelahirin. Nisa kelihatan lebih dewasa.
“Emang Nisa ngerti Miss World itu apa?,” selaku.
“Yah, ngerti lah mba. Sama dengan fhasion show kan?.”
Nisa tambah cerdas rupanya. Setelah ku pikir-pikir apa yang dikatakan Nisa benar juga. Kemarin aku susah-susah ikut aksi damai menolak ajang pemilihan Miss World di Indonesia. Sekarang malah nangkring di depan TV, tak terlewatkan lenggak lengggok para perempuan-perempuan cantik itu meski hanya seorang. Akhirnya ku simpan remot TV, dan masuk kamar. Melanjutkan novelku.
Pukul 11 malam aku keluar kamar. Hendak tidur, tapi ku dengar suara mama sama Nisa di ruang TV. Aku bergabung dengan mereka. Lagi seru-serunya memang. Mama memang tak pernah melewatkan acara seperti ini. Aku juga,  hanya kali ini. Itu pun setelah mendapat teguran dari adik tercinta.
“Nisa masih mau jadi wartawan??,,” tanyaku. Wartawan itu harus gesit dan lincah.”
“Nggak ah, mba. Aku sekarang pengen jadi Miss Wor aja,” ucapnya sambil senyum.
“Lho?????,” aku dan mama menatapnya serius.
“Jadi wartawan nggak seru lagi. Cita-cita Nisa sekarang pengen jadi Miss Wor.”
“Kenapa?. Miss world kan seksi, pamerin aurat. kan nggak bagus,” tanyaku.
“Miss Wor itu bukan seksi mba, tapi cantik,” sela Nisa.
“Tapi kan, teman Nisa si Yusuf mau jadi ustadz. Kan bagus. Bisa ngasih nasihat sama orang banyak. Atau Nisa jadi ustadzah aja. Kan banyak ustadzah yang cantik.
“Yusuf mau jadii Ustadz karena ustadz itu bisa masuk TV. Terkenal, banyak uangnya, dan jadi artis.”
“Tapi kan???”.
Belum habis kata-kataku Nisa sudah menyela.
“Coba mba Nana perhatikan, nggak ada yang nggak cantik kan?. Terus kulitnya putih, pinter, bisa kemana-mana, Bali, luar Negeri. Kalau wartawan nggak peduli cantik atau nggak. Di sorot kamera terus, jadi artis. Tapi kalau wartawan malah nyorot artis. Yang nggak suka Miss Wor aja tetap suka dan nonton, kayak mba Nana. Mama aja yang jarang nonton TV, jadi nonton gara-gara Miss Wor. Kalau wartawan, orang nggak peduli. Gara-gara Miss World, mba Nana jadi bangun pagi. Miss Wor jadi terkenal, wartawan nggak. Liput beritaaaa melulu. Dan pastinya Miss Wor uangnya banyak dari pada wartawan. Jadi, aku pengen jadi Miss wor aja,” ucap Nisa.
“Terus, Miss Wor jalannya ayu, kaya gini,” lanjut Nisa lagi sambil mempraktekkan cara jalan para peserta Miss World di TV.” Kalau wartawan kejar-kejaran terus,”ucapnya kemudian. Aku dan mama hanya menatap Nisa, bingung.
“Semua mata di seluruh dunia tertuju sama Miss Wor, wahh hebat!,” ucapnya dengan bangga.
“Dan Miss World kecil, tidurnya nggak larut malam,” ucap mama sambil mencubit pipi Nisa.
“Kan Miss Worldnya lagi manggung. Hehehehe,” sambung Nisa.
Namun akhirnya, Nisa nggak bertahan sampai ajang Miss World kebanggaannya selesai.
*****
Karena hari ini hari minggu, teman-teman Nisa sudah kumpul di rumah. Kata mama mereka akan latihan teater di sekolah. Di pandu kaka kelas mereka. Aku bangun agak pagi dari hari libur biasanya. Takut, jika Nisa menegurku lagi. Gara-gara Miss World.
“Titi, kamu mau jadiapa kalau besar?,” tanya Nisa.
“Aku, pengen jadi guru,” jawab Titi.
“Aku pengen jadi pramugari,” jawab Nabila tanpa di tanya.
Yang lain sibuk menyebutkan cita-cita mereka. Dokter, polwan, presiden. Wah, bagus-bagus pokoknya. Tapi ketika mereka bertanya pada Nisa. Nisa malah mengambul sepatu highnya dan berjalan mengikuti gaya jalan para kontestan Miss World semalam.
“Aku pengen jadi Miss Wor…..,” ucap Nisa bangga. “Jalannya gini, cantik, dan pinter…..” lanjut Nisa sambil terus bergaya.
“Tapi anak sholehah itu nggak boleh seksi,” sahutku. “Harus make jilbab, kayak mba Nana. Kalian anak sholehah kan?.”
“Aku nanti beda mba. Aku akan jadi Miss Wor yang paling cantik. Kan aku make jilbab. Miss Wor semalam kan nggak ada yang make jilbab.”
Ah, Nisa. Teman-temannya justru setuju. Mereka mengikuti gaya jalan Nisa dari belakang. Melenggak-lenggok persis seperti peserta Miss World semalam. Semoga ini hanya cita-cita anak-anak yang akan berubah nantinya. Seperti cita-cita Nisa yang awalnya ingin jadi wartawan.
Ini gara-gara Miss World. Anak-anak umur 6 tahun saja sudah bisa menilai dan meniru. Jangan sampai semua anak-anak se usia Nisa menjadikan fashion sebagai cita-cita. Cita-citakan harus mulia,  bukan kecantikan. apalagi mengikuti cara berpakaian para peserta Miss World. Bisa hancur Negara ini…… L L L.
 Ini sebenarnya mudharatnya, orang-orang begitu mengagungkan kecantikan dan kecerdasan. Padahal kecantikan tidak abadi, nantinya akan berubah menjadi keriput. Dan kecerdasan akan bahaya jika salah di tempatkan. Ini yang ingin aku jelaskan pada Nisa, tapi mungkinkah Nisa akan paham?. Atau Nisa sudah terlanjut menjadikan Miss World sebagai cita-cita…..



Lampiran

Annisa Mau’izhoh adalah nama pena dari Ikerniaty A. T. Sandili. Mahasiswa semester 3 program studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Tadulako.
Contact person :
085796824650
Email : annisamauizhoh@gmail.com         




Komentar